Cerpen: Menyontek

 

Ini cerpen yang kemarin saya janjikan mau diposting. Cerpen berjudul ‘Menyontek’ ini bisa juga kamu baca di Antologi terbitan de TEENS: ‘I’m Proud To Be Me’,  yang saya bahas di postingan yang ini. Oh, ini sedikit mencubit sedikit si Febri, soalnya dia juga nulis tentang hal yang serupa.

Panjang cerpen ini 1700 words. Lumayan panjang. Tapi untuk ukuran cerpen tergolong normal (8 halaman A4). Jadi kalau misalnya kamu bisa betah baca, silakan dibaca. Kalau tidak bisa baca tulisan panjang, ngomen aja di bawah, ye :). Selamat membaca, Agustus!

***

Menyontek

Namaku Rio. Aku dilahirkan tanggal 21, bulan Mei, tahun 1993. Aku ingin bercerita tentang kejadian yang paling kuingat saat masih SMA, tentang temanku yang sering menyontek jawaban ujian atau ulangan dariku. Dan masalahnya adalah, tiba-tiba aku enggan menunjukkan jawaban-jawaban ujianku padanya lagi.

Peristiwa itu terjadi ketika ujian kenaikan kelas dua belas. Sebagai siswa yang ingin selalu taat pada peraturan sekolah, aku berusaha tidak menyontek waktu ujian. Namun anehnya, aku tak akan sungkan menunjukkan hasil pekerjaanku pada teman-teman yang meminta jawaban dariku ketika ujian sedang berlangsung. Bagiku, saat aku menunjukkan jawabanku pada mereka, aku tidak berada di pihak yang salah. Aku tidak menyontek; mereka yang menyontek dariku. Aku tidak menawarkan jawaban; mereka yang memintanya dariku. Dan satu hal penting yang harus kalian pahami jika menjadi diriku, bahwa menolak memberikan jawaban, pura-pura tidak mendengar ketika mereka memanggilmu, adalah amat sulit. Aku terpaksa membantu mereka agar mudah bergaul dengan mereka. Aku senang bergaul dengan siapapun, dan aku mencoba untuk tidak membatasi diri.

Untuk lebih mudah membedakan, aku menyebut diriku dermawan, lalu mereka yang sering meminta jawaban sebagai penadah. Sedangkan, satu kelompok lagi yang kujuluki si pelit, ialah mereka yang tergolong siswa cerdas di kelas kami, tapi anti memberikan jawaban pada peserta ujian lain. Dermawan di kelas kami jumlahnya sekitar enam orang―menurut perhitunganku. Penadah adalah yang paling banyak, jumlahnya tak menentu. Kadang, mereka yang biasanya mengerjakan sendiri (bukan karena pintar), tiba-tiba meminta jawaban untuk mata ujian tertentu, mereka juga termasuk golongan penadah. Lalu, si pelit jumlahnya hanya empat orang―menurut pengamatanku. Mereka adalah yang paling pintar di kelas kami. Aku juga berteman dengan mereka. Aku berteman dengan semua orang.

Meski begitu, aku tak pernah menganggap diriku yang paling baik di kelas; hanya karena telah membantu mengerjakan ujian dan ulangan mereka, membantu mereka memperoleh nilai yang tidak buruk, dan membantu membuat bangga orang tua mereka.

Aku menyadari premis itu ketika ujian kenaikan kelas dua belas hampir menjelang. Aku tak mau menjadi tumpuan mereka. Aku sadar, tindakanku selama ini nyaris keliru. Aku memberi mereka tumpuan. Mereka selalu mengandalkan jawaban-jawaban dariku. Dan kurasa, kebiasaan seperti itu harus aku kurangi. Jadi, mulai saat itu aku berpikir untuk mencoba menjadi golongan si pelit. Tentu saja aku tak bisa serta merta menunjukkan sikap seperti itu pada hari pertama ujian. Namun, aku akan mencobanya secara perlahan dan bertahap; tidak menunjukkan kesan bersedia memberi jawaban, selalu kelihatan sibuk, tidak memberi celah bagi mereka, memposisikan seolah pengawas sedang mengawasi, dan pura-pura tidak dengar.

Pada hari pertama ujian kenaikan kelas, aku berhasil mengurangi tempo. Aku menunjukkan pada mereka seolah-olah pengawas memperhatikan gerak-gerik kami. Tiap kali kulihat mereka hendak meminta jawaban dariku, aku melirik ke arah pengawas. Secara otomatis temanku akan melakukan hal serupa. Lalu, tanpa menunggu lama, pengawas akan melirik ke arah kami―jika beruntung. Biasanya pengawas akan melirik jika ada yang memerhatikan.

“Gila! Bu Aisyah biasanya gak begitu amat. Mau ngelirik jawaban ke belakang aja ga sempet, apalagi mau manggil Rio.”

Aku lega mendengarnya.

“Ah, Rio. Dipanggil berkali-kali gak noleh.”

“Rio sekarang gitu. Kenapa, sih?”

“Rio tadi ngasih jawabannya setengah-setengah, gak lengkap kaya ujian dulu-dulu.”

“Rio sekarang pelit banget.”

Pelit banget. Dua kata itu menggema di kepalaku. Aku menoleh ke arahnya. Namanya Endah. Sebelum aku mengukuhkan diri menjadi si pelit, aku tidak mau menerima dua kata terakhir tadi. Bagaimana bisa dia menuduhku pelit sementara pada ujian-ujian terdahulu tak pernah sekalipun aku menyembunyikan jawabanku darinya? Aku menunjukkan semuanya pada anak itu. Pada gadis itu. Lalu, apa yang ada dalam pikirannya? Apa dia lupa pada apa yang kulakukan untuk membantunya agar tidak gagal dalam ujian, agar memperoleh nilai yang membuat bangga kedua orang tuanya? Sial! Dia benar-benar tidak menganggap apa yang pernah kuberikan padanya. Hubungan ini seolah-olah terlihat aku harus bekerja untuknya.

Baiklah. Untuk hari-hari berikutnya, aku tak akan memberinya jawaban. Sama sekali. Dan akan kutunjukkan betapa aku baik hati pada teman-teman lain selain dirinya.

Sampai hari ketiga ujian kenaikan kelas, aku bersikap sebagai dermawan, tentu saja, pada orang-orang tertentu untuk mata ujian fisika, tidak pada satu orang bernama Endah.

Aku sudah menjawab semua soal ketika waktu masih tersisa tiga puluh menit. Lembar jawabku sudah penuh. Satu per satu si pelit mulai keluar ruangan, diikuti siswa lain. Hari ini teman-teman yang biasanya meminta jawaban dariku, entah kenapa, jarang sekali menanyakan jawaban padaku. Padahal aku sudah menunjukkan tanda-tanda siap memberikan jawabanku pada siapapun. Biasanya mereka akan membaca bahasa tubuhku, lalu meminta jawaban dariku tanpa sungkan. Tapi kali ini hal itu tak terjadi. Aku yakin, ini pasti karena isu yang disebar Endah, tentang aku yang menjadi si pelit.

“Rio… Ssst… Rio…,” desah Endah dari barisan belakang. Aku bergeming, pura-pura tidak dengar. “Ssst, Rio.”

Aku terbiasa keluar ruangan saat bel tanda ujian selesai dibunyikan meskipun sebenarnya aku sudah menyelesaikan semua soal setengah jam sebelumnya. Aku ingin terlihat biasa saja, seperti kebanyakan siswa, daripada terlihat seperti mereka yang keluar sangat awal, memamerkan pada temannya seolah soal-soal itu gampang dan yakin akan memperoleh nilai terbaik.

“Ssst… Riooo….” Suara Endah begitu menggangguku. Apa dia pikir aku mau membagi jawaban dengannya? Apa dia tidak melihat tanda-tanda yang kutunjukkan padanya, bahwa aku enggan menunjukkan jawabanku lagi, bahwa aku telah menjadi si pelit sesuai penilaiannya? Apa dengan mengumbar bahwa aku menjadi si pelit pada teman-temannya, lalu tanpa malu meminta jawaban dariku adalah perbuatan yang logis?

Akhirnya, kejadian yang kami takutkan―dan yang amat dia takutkan―terjadi. Pengawas―Mr. Alex―berjalan ke arah kami. Guru bahasa inggris itu menodongkan tangannya padaku, meminta lembar soal dan lembar jawabku. Aku memandang wajahnya, mencoba bertanya. Ia tetap menarik lembar jawabku. Aku terpaksa berdiri, keluar ruangan tepat saat Mr. Alex melakukan hal serupa pada Endah. Aku tak tahu apakah saat itu Endah sudah menyelesaikan semua pekerjaannya atau belum―kurasa belum.

Aku merasa bersalah pada Endah. Dia pasti akan memperoleh nilai buruk. Dan orang pertama yang akan sangat dibencinya adalah aku.

Esok hari dan hari-hari berikutnya, ia tak mau lagi berbicara saat berpapasan denganku. Ia selalu menghindar, seolah aku harus sadar bahwa akulah penyebab kejadian itu. Aku tahu ia sakit hati. Namun seandainya ia tahu, aku lebih sakit hati disebut pelit secara diam-diam oleh orang-orang di belakangku, hanya karena tak mau berbuat curang saat ujian. Ditambah lagi dengan keluhan-keluhan teman-teman―setiap waktu―tentang apa yang telah kulakukan pada Endah semakin membuatku terpojok. Sepertinya, aku perlu menghubungi pengacara.

***

Hari-hari berlalu membuatku luluh. Aku tak bisa membenci seseorang berhari-hari. Aku luluh. Dan untuk itulah aku sering mencoba mendekati Endah, meminta maaf padanya, namun sayangnya aku tak pernah menemukan waktu yang tepat. Sampai sekarang, sampai pada pembagian nilai fisika, aku belum berbicara padanya.

Endah mendapat giliran dipanggil oleh Pak Khoiri. Dugaanku tidak meleset. Ekspresi Pak Khoiri menunjukkan kekecewaan. Dan kulihat Endah menerima lembar jawabnya dengan rasa bersalah. Ia kembali ke tempat duduknya sambil melipat lembar kertas itu, menyembunyikan nilainya dari kami. Aku yakin ia memperoleh nilai terburuk di kelas.

Lagi-lagi, aku merasa semua pasang mata memerhatikanku saat Pak Khoiri memanggil nama lain.

***

Sekarang adalah hari terakhir kami berada di sekolah sebelum liburan kenaikan kelas. Rapor sudah diterima orang tua kami kemarin. Hari ini kami hanya mengikuti upacara pembagian piala untuk juara-juara lomba class-meeting. Aku tidak ingin membahas upacara pembagian piala itu. Aku akan membahas mengenai kejadian setelah upacara, ketika kami hendak pulang.

Setiap ada teman kami yang berulang tahun, kami selalu melakukan kebiasaan ini: menyiramnya dengan air, telur, dan menaburinya dengan tepung. Kami menyebut teman kami yang berulang tahun dengan istilah korban. Korban tak akan tahu dan tak akan pernah lolos. Kami selalu berhasil.

Kebetulan, hari ini kami punya korban―bukan aku. Biasanya, jumlah teman-teman yang merencanakan kejutan hanya sekitar lima hingga sepuluh orang, tidak sekelas. Sebab sisanya harus bersikap normal di kelas; melakukan kegiatan seperti biasa agar korban tidak curiga. Dan kebetulan lagi, korban kami adalah Endah. Sebenarnya, hari ini ia tidak berulang tahun. Ia berulang tahun dua hari lagi, pada hari senin. Namun, karena minggu depan kami sudah mulai libur panjang, teman-teman sepakat melancarkan kejutan untuknya hari ini.

Sepanjang mereka mengeksekusi Endah di halaman kelas, berlari-larian, berkejar-kejaran sambil tertawa keras, aku duduk di salah satu kursi di dalam kelas, sendirian, membaca sebuah komik. Aku semestinya pulang sejak tadi. Aku tak punya urusan dengan rencana ini. Namun, karena aku sudah berjanji dengan teman gengku untuk pergi ke tempat bermain sepulang sekolah, aku terpaksa berada di sini lebih lama. Sebab mereka juga ikut ‘membuat kejutan’ untuk Endah.

Cewek itu masuk kelas dengan penampilan berantakan; sekujur badannya nyaris bertabur tepung, rambutnya lengket karena kombinasi telur, air, dan tepung, lalu wajahnya berlepotan adonan tepung. Ia sendirian. Tak ada yang mengikutinya. Kurasa dia akan mengambil tasnya lalu pergi.

Aku harus mendekatinya dan harus berbicara padanya. Aku percaya, sekarang adalah waktu yang tepat sebelum kami libur panjang. Aku harus menyelesaikan ketegangan ini. Dengan langkah ragu, aku mendekati Endah. Ia melirikku, memerhatikanku dengan ekspresi favoritnya. Aku tebak, dia canggung berdua dalam satu ruangan denganku. Aku meneguhkan diri untuk bicara padanya lebih dulu.

“Hai, Ndah.” Ia membelakangiku, mengambil tasnya. “Selamat ulang tahun, Endah.” Aku mengulurkan tanganku, menunggu jabat tangan darinya.

Ia berbalik, menatapku heran, lalu menjabat tanganku.

“Maafin aku, Ndah. Aku cuma gak pengin ada temenku yang jengkel sama aku. Apalagi besok kita gak ketemu lagi berminggu-minggu. Aku cuma pengin pertemanan kita baik lagi,” ucapku terburu-buru.

Endah tersenyum. Kali ini lebih tulus. Tangan kami belum terlepas.

“Enggak ada yang perlu minta maaf, Rio. Malah aku yang harus berterima kasih sama kamu,” ujarnya, “karena telah membuat aku berubah.” Ia melepas tanganku. “Sebenarnya, waktu ujian itu, aku panggil kamu cuma buat ambilin pulpenku di bawah kursimu. Kamu pasti mengira aku akan meminta jawaban darimu.”

Aku terkejut mendengar pengakuan Endah. Aku tak pernah menduga.

“Tapi justru karena itu, karena ulahku hingga membuat Mr. Alex datang pada kita, sejak saat itu aku bertekad akan mengerjakan ujian berikutnya tanpa bantuan siapapun. Aku juga tak akan meminta jawaban darimu. Kamu tahu? Sebenarnya kalau aku mau belajar sendiri, nilaiku juga bagus kok. Nilaiku mata ujian hari berikutnya sangat bagus. Menurutku, sih.” Ia terkekeh. “Aku gak nyangka bisa dapat nilai sebaik itu tanpa bantuan siapapun. Dan mulai saat itu, aku bertekad mengerjakan ujian sendiri. Aku harus belajar sungguh-sungguh.”

Aku ingin memeluknya.

“Aku minta maaf pernah bilang kamu pelit. Saat itu aku memang sakit hati, tidak berpikir panjang. Terus, ketika kamu mengabaikanku, aku pikir itu memang balasan yang setimpal buatku.” Ia menghela napas. “Aku semestinya mengerti, aku tidak boleh menilai buruk temanku sendiri. Aku seharusnya tahu, kitalah yang berhak menentukan pilihan kita sendiri. Kita punya hidup masing-masing.”

“Kita punya hidup masing-masing,” ulangku.

Sejak kejadian itu, aku tahu bahwa aku tidak berhak ‘menyuapi’ temanku sendiri dan membuat mereka menggantungkan diri padaku. Aku tak akan melakukannya lagi. Sebab setiap orang pasti punya kemampuan. Hanya saja mereka malas mengakuinya karena keberadaan orang-orang dermawan. Sepertiku, misalnya. Terima kasih, Endah. Selamat ulang tahun.

Surakarta, 9 April 2014

The END.


Hayo, dilap pake tisu matanya. Tuh belekan.

 

16 respons untuk ‘Cerpen: Menyontek

  1. Ridha Tantowi berkata:

    It takes 5mnts to read whole story. Anyway, ceritanya sebenernya sederhana cuman pesannya yang dalem. Gue jg pernah ngerasain jadi dermawan trus tiba2 jadi pelit juga :’D
    Keep up the good work!

    ada cerpen lain lagi ga?

    Disukai oleh 1 orang

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.