Review Biografi: Dokter di Medan Lara (Penulis: Sili Suli & Hurri Hasan)

Buku ini sampai di tangan saya kalau tidak salah pada hari Selasa, 14 April 2020. Lama juga ya, baru saya tulis review-nya setelah seminggu lebih, hehe. Bukunya memang tebal, 350-an. Tapi bukan itu masalahnya. Penghambatnya adalah Study from Home yang mencekoki saya (dan teman-teman saya) dengan banyak sekali tugas. (Ya Allah, memang mengeluh adalah kelemahan saya).

Saya bukan tipe orang yang suka membaca di waktu luang. Namun, meluangkan waktu untuk membaca adalah pilihan saya, karena membaca di waktu luang yang cuma sedikit-sedikit itu kurang nikmat rasanya dibanding dengan membaca seharian.

dokter di medan lara sili suli hurri hasan

Berat buku ini hampir 2 kilogram. I mean literally, karena saya menimbangnya. Ini pasti karena bahan kertas yang digunakan merupakan jenis kertas yang sering kita temui pada buku ensiklopedia. Sepertinya jenis kertas yang digunakan adalah Art Paper 150 gsm. That’s why I should say this one is a premium book.

Buku berjudul “Dokter di Medan Lara” merupakan sebuah buku biografi yang ditulis oleh Sili Suli dan Hurri Hasan. Buku ini menceritakan kehidupan seorang ‘dokter kemanusiaan’ bernama Prof. Dr. dr. Idrus A. Paturusi, Sp.B, Sp.OT. Jika kamu pernah mendengar namanya, atau tahu siapa dia, tentu kamu tahu kalau Prof. Idrus adalah mantan rektor UNHAS (Universitas Hasanuddin).

Orang-orang memanggilnya dengan sapaan akrab “Prof. Idrus”, seperti yang disaksikan oleh penulis sendiri, Sili Suli, saat mendampinginya di lokasi gempa di Lombok dan Palu pada tahun 2018.

Membaca cerita perjalanan Prof. Idrus, tak salah jika saya menyebut dia sebagai ‘dokter kemanusiaan’. Jiwa dokter yang sangat kuat dalam dirinya mengantarkannya pada perjalanan hidup heroik yang tak setiap orang di dunia ini bersedia menjalaninya.

Jabatan akademis dan birokratif yang Prof. Idrus pernah pegang bukanlah yang mengontrol jiwa dokternya. Sebaliknya, jiwa dokter yang Prof. Idrus milikilah yang mengantarkannya menuju posisi tsb. Dia tidak berambisi untuk meraih posisi-posisi penting dalam suatu lembaga, tetapi posisi itulah yang menginginkannya.


“Dokter di Medan Lara” diawali dengan cerita masa kecil Prof. Idrus. Kita tentu tak pernah menyangka bahwa seorang mantan rektor UNHAS ini merupakan ‘jawara kelahi’ selama sekolah dasar hingga SMA. Ketika menjadi mahasiswa di Fakultas Kedokteran UNHAS, jiwa rebel itu sedikit demi sedikit mulai tergerus. Dia lebih bisa mengontrol emosi, namun tetap dengan sikap tegas dan beraninya.

Delapan puluh persen dari buku ini berkisah tentang perjuangan Prof. Idrus dalam menolong korban bencana dan konflik, baik di Indonesia maupun di negara lain. Perjalanannya sebagai dokter kemanusiaan diawali di Pulau Flores (NTT), saat ia memimpin tim siaga bencana bernama Brigade Siaga Bencana Indonesia Timur (BSBIT) yang terdiri dari berbagai dokter spesialis untuk membantu korban bencana gempa dan tsunami pada tahun 1992. Saat itu usianya 42 tahun.

Berada di kawasan bencana bukanlah hal yang mudah bagi siapapun. Prof. Idrus harus bisa mengkoordinasi semua personil medis dalam situasi kedaruratan. Kesulitan air bersih, makanan, ketiadaan listrik, tempat istirahat, sarana transportasi, bahkan membludaknya pasien atau jenazah adalah hal yang sering dia temui di daerah bencana. Dan saking seringnya Prof. Idrus membantu korban bencana maupun konflik, dia menjadi sangat mudah beradaptasi dengan masalah-masalah tersebut dan cepat dalam memberi solusi.


Di tahun 1999 terjadi konflik antar kelompok warga di Ambon (Maluku). Prof. Idrus bersama Tim Medis UNHAS turun tangan untuk membantu para korban yang terluka akibat peluru, anak panah, atau sabetan senjata tajam. Tidak hanya itu, mereka juga harus menjahit bagian tubuh jenazah yang hampir putus sebelum dimakamkan!

Sebagai seorang dokter bedah orthopedi, menangani korban yang terluka parah memang tugasnya. Namun, bertugas di bawah bayang-bayang teror kekerasan bukanlah hal yang mudah. Dia bersama tim medis harus selalu waspada karena rumah sakit tempatnya bertugas berdekatan dengan lokasi konflik yang belum usai.

Pada tahun 1999 juga, di masa pemerintahan Presiden B. J. Habibie, Prof. Idrus bersama Brigade Siaga Bencana Indonesia Timur turun tangan dalam membantu para pengungsi dari Timor Timur (sekarang Timor Leste). Para pengungsi berlindung menuju wilayah yang masuk dalam Provinsi Nusa Tenggara Timur, yaitu Kefamenanu dan Atambua. Pengungsi merupakan warga Timor Timur yang menolak kemerdekaan dan tetap ingin bergabung dengan Indonesia. Ribuan orang tewas akibat bentrokan dua kubu mengakibatkan terjadinya gelombang pengungsian itu.


Dokter di Medan Lara

Penulis: Sili Suli & Hurri Hasan
Cetakan I, Maret 2020
Tebal: xvi + 354 halaman
Penerbit: Arti Bumi Intaran Yogyakarta

Prof. Idrus tidak berhenti melibatkan dirinya dalam menolong lebih banyak orang. Setelah membantu para korban di tempat konflik seperti di Ambon dan Timor Timur, dia juga turun tangan dalam membantu korban konflik di Ternate (Maluku) pada tahun 1999 serta di Pakistan dan Afghanistan pada tahun 2001. Entah keberanian sebesar apa yang dimiliki oleh tenaga medis seperti Prof. Idrus ini. Menempatkan dirinya di negara yang sedang terjadi peperangan bukanlah hal yang bisa diterima akal semua orang.

Jasa Prof. Idrus juga sangat besar dalam penanganan korban bencana alam di Indonesia. Keterlibatannya selain turun langsung menangani korban, juga menjadi koordinator yang memimpin tim medis. Jabatan sebagai Ketua Umum Perhimpunan Ahli Bedah Orthopedi Indonesia (PABOI) dan Ketua Umum Ikatan Ahli Bedah Indonesia (IKABI) turut memudahkannya menggerakkan dokter-dokter di Indonesia dalam penanganan korban bencana.

Tragedi gempa di Bengkulu (2000), Nias (2005), Jogja (2006), Padang (2009), Pidie Jaya (2016) dan Lombok (2018) juga tak lepas dari misi kemanusiaan yang dipimpinnya. Selain itu, kejadian bukan bencana alam seperti Aksi eksodus TKI di Nunukan (2002) dan KLB Gizi Buruk di Asmat (2018) pun juga mampu menggerakkan hatinya untuk turun tangan membantu orang-orang yang membutuhkan.

“Sebenarnya apa lagi yang Prof cari? Hampir semuanya sudah berhasil Prof raih. Prof adalah salah seorang dokter yang sangat terpandang di Makassar bahkan di tanah air. Kenapa selalu menyusahkan diri setiap kali terjadi bencana?” tanya dr. Andry (mahasiswa Prof. Idrus sekaligus anak dari dosennya dulu)

“Ada kebahagiaan tersendiri saat kita bisa ikut membantu mereka yang sedang kesulitan dan membutuhkan pertolongan di daerah bencana. Kebahagiaan itu tidak bisa dinilai dengan uang,” jawab Prof. Idrus.

-Penggalan percakapan antara dr. Andry dengan Prof. Idrus (hal. 178)

Kita tentu masih hangat dengan tragedi bencana yang terjadi di Palu, Sigi, dan Donggala tahun 2018 lalu yang menelan 2.081 korban jiwa. Tidak hanya gempa, namun juga tsunami dan likuifaksi yang turut meluluhlantakkan 3 wilayah itu. Mengetahui berita itu, Prof. Idrus langsung menghubungi Kepala Program Studi FK UNHAS (dr. Muhammad Sakti), PSC 119 RS Wahidin Sudirohusodo, Tim dari PT Semen Tonasa, Alumni FK UNHAS, FK UMI, dan TBM 110 UMI untuk berkoordinasi mengenai pengiriman bantuan (medis dan material) ke lokasi bencana.

Prof. Idrus juga turut hadir dalam penanganan korban bencana gempa dan tsunami Aceh di tahun 2004. Bencana ini merupakan salah satu bencana paling mematikan dalam sejarah. Korban bencana yang terkonfirmasi di Aceh sendiri mencapai 130.736 jiwa. Prof. Idrus bersama dengan kawannya, Prof. Aryono (guru besar UI), menjadi koordinator dalam penanganan korban bencana itu. Selain melakukan operasi terhadap pasien patah tulang, Prof. Idrus juga memperhatikan kebutuhan makan tenaga medis, paramedis, dan warga yang menjadi korban bencana.

Selain meminta salah satu dokter yang bertugas untuk membeli bahan makanan dari Medan, Prof. Idrus juga meminta bantuan stok makanan dari temannya di Jakarta. Namun, akibat semakin banyak pasien yang harus ditangani, persediaan obat-obatan dan makanan harus ditambah. Begitu selesai melaporkan hal tsb pada Wapres Jusuf Kalla, bantuan obat-obatan dari Kimia Farma dan makanan dari Bulog segera dikirimkan.

He saves so many lives.

Misi kemanusiaan lain yang dijalani oleh Prof. Idrus di luar negeri yaitu saat gempa di Iran yang menelan 20 ribu lebih korban jiwa di tahun 2004 dan gempa bumi serta tsunami di Jepang pada tahun 2011 yang mengakibatkan 15.269 orang kehilangan nyawa.

Bahkan akhir dari buku ini masih menceritakan kepedulian Prof. Idrus dalam peristiwa kebakaran hutan di Gunung Lompobattang. Di usianya yang ke 69, Prof. Idrus tidak kehilangan semangat dalam membantu orang lain.


Someone have to make him a wikipedia page.

Saya sangat beruntung bisa membaca kisah Prof. Idrus melalui buku ini. Selain mengapresiasi, saya juga mendoakan agar beliau selalu sehat. Beberapa waktu kemarin Prof. Idrus terkena COVID-19 dan sempat dirawat. Alhamdulillah, Prof. Idrus sembuh dari penyakit itu. Saya yakin banyak orang yang pernah ia tolong yang selalu mendoakannya.

“Apa esensi memegang sendok sayur, Prof? Haha.” (Prof. Idrus bersama Tim Medis UNHAS saat bencana di Palu (2018). Hal. 309)

Penulis buku ini, Sili Suli, menyampaikan ke saya bahwa buku ini tidak dijual. Buku ini hanya dicetak 1.000 eksemplar untuk kalangan medis, tokoh tertentu, lembaga kemanusiaan, dan NGO. Namun, jika pandemi ini selesai, kita bisa membacanya di perpustakaan-perpustakaan universitas. Kalau tidak tersedia di perpustakaan universitas, mungkin ada di perpustakaan fakultas kedokteran.

Saya berharap buku ini bisa dicetak lagi agar semakin banyak orang tertular semangat untuk membantu orang lain. Di masa pandemi COVID-19 ini, saya yakin banyak orang baik yang bergerak menyelamatkan orang lain di luar sana. Sosok-sosok seperti Prof. Idrus itulah superhero sebenarnya.

Jangan pernah berhenti untuk membantu lebih banyak orang seperti yang Prof. Idrus lakukan, selagi kita bisa.
Stay safe. Stay healthy. Stay home.
Semoga kita berhasil melalui pandemi ini.


Jogja, April 2020
Contact: rizza_umami@ymail.com | IG @rizzaxyz

7 respons untuk ‘Review Biografi: Dokter di Medan Lara (Penulis: Sili Suli & Hurri Hasan)

  1. Aris Abidin berkata:

    Terima kasih…beliau adalah salah satu guru terhebat dan menjadi panutan kami. Sukses selalu pak Sili Suli dan mas rizza. Semoga pandemi ini cepat berakhir. Aamiin

    Disukai oleh 1 orang

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.