Review Film: Ready Player One (2018) – Film Nostalgia Angkatan 80-an

Sebelum berbicara tentang film Ready Player One ini, saya ingin membahas sedikit mengenai novelnya. Yoi, film ini diangkat dari novel yang terbit cetakan pertamanya pada tahun 2011. Dan tahukah kalian? Pada tahun yang sama, sang penulis Ernest Cline telah menyetujui proyek untuk pembuatan filmnya, tetapi produksi film baru dimulai tahun 2016.

Sayangnya, novel yang laris di luar Indonesia itu baru dibuat versi terjemahannya tahun 2018 oleh Gramedia! Sangat terlambat! Seandainya dibuat versi Indonesia sekitar tahun 2014 atau 2015 tentu akan menyamai hype novel The Hunger Games, Divergent, atau The Maze Runner. Saya tidak hendak mem-boo Gramedia karena sebenarnya kesalahan ada pada penulis novel itu sendiri. Penulis membuat jeda terlalu lama antara novel pertama dengan kedua. Ada novel kedua? Ada tapi belum terbit. Penulis hanya mengkonfirmasi sekitar bulan Desember 2017 lalu bahwa dia berencana menerbitkan novel kedua. Sepertinya dia menunggu bagaimana respons publik terhadap film yang dibuat dari novel pertamanya, film Ready Player One ini. Kali aja nemu ide baru, bisa tuh diselipin ke draft novelnya.

Review Film Ready Player One (2018)

Saya memutuskan menonton film ini hanya dengan pertimbangan jumlah view trailer di Youtube. Dibanding trailer film lain yang tayang pada minggu yang sama, trailer Ready Player One berada pada urutan teratas. Waktu saya tonton pertama kali, trailer tsb baru punya 2 juta sekian views. Dan sepertinya sekarang sudah naik hingga 18 jutaan dan akan terus naik karena ini baru minggu awal rilis filmnya, plus masih menempati posisi pertama box office global based on boxofficemojo.

Ready Player One (2018), Directed by Steven Spielberg, Based on Ready Player One by Ernest Cline, Production Warner Bros. Pictures, Running Time 140 min., Rated PG 13+, Release Date 30 March 2018.

Ditanya apakah ada pertimbangan menonton karena nama besar sutradara? Hm, bisa jadi. Tapi itu alasan nomor dua setelah jumlah view trailer. Mungkin alasan orang-orang menonton tralier Ready Player One ini adalah karena ada nama Steven Spielberg, sementara saya yang kurang update tentang sutradara-mana akan merilis film-apa, hanya berbekal keyword movie released 2018 di google dan nemu situs ini.


Ready Player One dibuka dengan story-telling yang sedikit membosankan. Kalau saja saya sudah membaca novelnya sebelum nonton filmnya, mungkin tidak terganggu. Faktanya, saya tidak pernah membaca bahkan judul bukunya sekalipun, di manapun. Saya agak dibuat bingung dengan narasi Wade Watts (diperankan oleh Tye Sheridan yang awalnya saya kira adalah Nick Robinson). Bagi saya informasi awal terlalu banyak, atau saya-nya yang kurang sigap mencerna informasi, maybe.

Film ini ber-setting di Amerika, tahun 2045, ketika dunia nyata sangat membosankan, terlalu banyak masalah, kotor, berpolusi, kemiskinan merajalela, dan virtual reality adalah salah satu pelarian terpopuler kala itu. Kalau dipikir-pikir, ide virtual reality ini sangat genius. Mungkin bagi kebanyakan orang saat ini biasa saja, karena dengan perkembangan teknologi sekarang, bukan tidak mungkin dunia akan merasakan kecanggihannya dalam beberapa tahun lagi. Tapi bayangkan ide itu muncul di tahun 2011! Ketika android saja belum begitu populer, bahkan blackberry adalah barang baru yang mewah.

Virtual reality memiliki banyak sekali pilihan untuk berbagai macam keperluan. Orang-orang menghibur diri di VR, olah-raga, menonton film, bersosialisasi, dan bermain game. Di antara sekian hal itu, game-lah yang paling populer. Seseorang bernama James Halliday membuat sebuah dunia virtual sekitar tahun 2027 kalau tidak salah, yang dia beri nama OASIS. Kita anggap saja OASIS ini semacam media sosial untuk para anonim, alih-alih sebagai sebuah game.

Di OASIS, orang membuat akun, username, avatar diri, dan melakukan sesuatu untuk mengumpulkan koin. Koin ini semacam uang di dunia nyata, yang bisa digunakan sebagai modal membeli fitur-fitur pada setiap game yang ingin dimainkan. Bisa juga digunakan belanja online, untuk membeli benda fisik yang dikirimkan ke rumah di dunia nyata.

Sebelum pembuat OASIS meninggal, dia membuat video pengumuman mengejutkan, bahwa siapapun yang berhasil menemukan tiga kunci dan sebuah easter egg di OASIS, maka orang tersebut berhak mengakuisisi perusahaan pendiri OASIS secara keseluruhan. Sama dengan sekarang misalnya, kamu diwarisi Apple Inc. sampai akar-akarnya, gimana?

Wade Watts, anak berusia 18 tahun, yatim, miskin, yang hidup bersama tantenya berusaha mengikuti setiap tantangan yang diselenggarakan di OASIS dengan memakai avatar diri bernama Parzival. Di sanalah dia bertemu dengan sahabat barunya, Art3mis, Aech, Daito, dan Sho, secara berurutan diperankan oleh Olivia Cooke, Lena Waithe, Philip Zao, dan Win Morisaki. Mereka kemudian menjadi high-five di OASIS setelah beberapa kali memenangkan tantangan. Mereka sebenarnya hanya ingin berteman di dunia virtual karena dunia virtual pada hakikatnya adalah ‘dunia’ yang menyediakan segala keperluan, kecuali makan, tidur, dan kamar mandi. Mungkin mereka gak akan pernah kepikiran ngadain kopdar atau semacamnya jika tidak terjadi masalah yang mengharuskan mereka bertemu di dunia nyata.

Masalah itu bernama IOI, sebuah perusahaan pembuat hampir semua aksesoris fisik yang diperlukan di OASIS. Kalau diibaratkan OASIS adalah pembuat smartphone-nya, maka IOI adalah pembuat softcase-nya atau tempered glass-nya. IOI menjadi masalah karena CEO-nya, Nolan Sorrento, sang maniak game yang ambisius berusaha mati-matian memenangkan tantangan OASIS dan berharap bisa mengambil alih perusahaan tersebut dengan cara kotor. Dari sinilah penyelamatan dunia virtual OASIS dimulai, oleh kelima anak yang disebut high-five tadi, dari tangan Sorrento.


Hampir 80% film ini menampilkan dunia virtual yang menonjolkan sisi action. Spielberg menuangkan ornamen dari film yang pernah membawa namanya, seperti Jurassic Park, Transformers, dan Men In Black, ke dalam film Ready Player One ini. Film ini banyak mengangkat referensi pop tahun 80-an, seperti game atau film. Saya sendiri hanya tahu beberapa game saja, itupun yang sempat populer juga di tahun saya.

Film ini menyampaikan pesan untuk menghargai kehidupan bersosial. Jika dibahasakan, kurang lebih seperti ini: sempatkanlah bertemu orang-orang secara langsung di dunia nyata, karena itu adalah hakikat kehidupan yang sesungguhnya.

Film yang bagus ditonton di akhir pekan bersama keponakan atau anak-anak, yang udah 13+. Meski ending film dibuat dengan interpretasi yang singkat, (yang mana saya berharap lebih dari itu), saya beri rating 7 dari 10. Kalau sekarang (4 April 2018) di imdb sudah 8/10, bagus kalau masih bisa bertahan hingga selesai tayang. We’ll see that!

“People who live in glass houses should shut the fuck up.”
Ernest Cline, Ready Player One.

16 respons untuk ‘Review Film: Ready Player One (2018) – Film Nostalgia Angkatan 80-an

  1. Desfortin berkata:

    Wow, film dg ide dunia virtual sprtinya memang seru, smoga nnti sy jg bs nonton, sy blkangan ini udah jrang nonton film mas, jd brasa gak update bnget.

    Anyway, thanks atas reviewnya…

    Disukai oleh 2 orang

  2. febridwicahya berkata:

    Orang-orang pada tau dan update film baru gitu-gitu darimana sih yaaa -_- saya tidak bisa apdet film baru karena emang… ya emang kurang mengikuti film. Tapi sebenernya suka film gwgww.

    RPO ini dulu hendak saya rencanakan untuk nonton. Tapi akhirnya bataaaal, Ahelah begini gini nih seringnya.

    Suka

Tinggalkan Balasan ke rizzaumami Batalkan balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.