THE RESISTANCE: SATU – BAB 1 (Bag. 1)

Sebelumnya: Prolog

Masalah ini berawal dari pertanyaan: bagaimana jika rasa sakit fisik pada manusia bisa benar-benar dilenyapkan?


BAB 1
Bagian 1

“Kalian berkelahi lagi?” tanya perempuan dengan name-tag dr. Habibie itu.

Dia adalah salah satu dokter bedah termuda di Rumah Sakit DR Moeloek ini, khusus menangani Pasien Kebal. Dan ini adalah tahun pertama ia bekerja.

“Aw!”

“Diam, Blu!” perintah dokter itu. Ia tahu lelaki yang sedang ia periksa luka pahanya ini kebal dari rasa sakit.

Paha Blu memperlihatkan bekas tusukan yang lumayan dalam. Darah masih mengalir perlahan dari tepi kulit yang tersayat itu. Ekspresi Blu tidak menampakkan kengerian sama sekali. Dia terkadang gila, tapi saat ini tidak. Blu hanya tidak bisa merasakan sakit fisik.

“Aduh!” seru Blu saat dr. Habibie menusukkan jarum ke sekitar luka. Ia lalu mengamati reaksi dokter perempuan itu lalu berkata, “Apa kamu benar-benar tidak tega melihat pasienmu mengeluh sakit? Dokter Rheisa?” Blu sedikit memberi tekanan pada nama itu sambil tersenyum mengejek.

Rheisa membiarkan pertanyaan Blu mengambang, mengisi ruang praktiknya. Sebenarnya ia kurang suka nama depannya dipanggil dengan sematan dokter. Namun karena ia sedang malas meladei Blu, ia bergeming. Rheisa mendorong robot operasi semiotomatis ke dekat kaki Blu, lalu membiarkan benda itu bekerja membuat jahitan di paha lelaki itu.

“Dokter Habibie?” Blu berusaha membuyarkan perempuan itu.

“Kau sudah tahu jawabannya, Blu. Giliranku bertanya, kenapa kalian berkelahi?” Rheisa tampak sedikit sebal. Ia kemudian melepas sarung tangan karet dan membuang benda itu ke dalam kotak pensteril mirip microwave lalu membakarnya. Rheisa meminta Blu turun setelah robot operasi selesai mengerjakan bagiannya.

“Ehm.” Blu turun dari ambin pasien sambil mengenakan celana. “Aku tidak bermaksud berkelahi. Aku hanya memastikan apakah dia kebal dalam perkelahian atau dia hanya omong kosong―”

“Blu,” potong Rheisa.

“Ya?” sambut Blu. Sebelum Rheisa menyambar kesempatan itu, Blu berkata lagi, “Begini. Aku hanya tak suka dia berpura-pura tidak kebal.” Sambil duduk di kursi di depan meja Rheisa, ia melanjutkan, “Aku hanya memukulnya sekali,” katanya dengan raut muka tidak yakin, “ya, sekali di hidungnya agar dia berhenti mengeluh tentang apa yang dia alami. Tapi bocah itu tiba-tiba berubah kalap sambil menancapkan pisaunya di kakiku.”

“Kau yang memulainya. Tentu saja,” kata Rheisa bosan.

“Kupikir dia berasal dari orangtua yang sama denganku dan mestinya itu juga menjadikan dia sama kebal seperti aku. Cara dia merengek kesakitan terlihat begitu palsu, kau tahu?” Blu mendengus.

“Blu,” kata Rheisa, “dia memang merasakannya.”

“Dia hanya pura-pura, Rheisa. Aku yang bersamanya sejak kecil. Aku yang menjaganya di sekolah dan universitas. Aku lebih tahu soal Green dibanding kamu, Rheis―”

Blu tiba-tiba melemah. Ia merasa bicara terlalu banyak dan berlebihan.

“Maaf,” kata Blu sambil menunduk, menghindari tatapan perempuan di hadapannya. Ia terkejut karena tidak menyangka kondisi jiwanya akan selemah ini.

“Mungkin dia memang merasakannya, Blu. Mungkin. Meski itu hanya sebatas rasa yang tidak nyata, tapi dia bisa jadi telah membuatnya seolah-olah itu ada di dalam dirinya sejak dulu.”

“Kurasa Green lebih membutuhkan terapi ini dibanding aku.”

“Aku bukan dokter terapi. Dan kau tahu ini bukan terapi,” sahut Rheisa.

“Ya, aku tahu. Maksudku, dia tidak sakit di tempat yang aku pukul! Dia sakit di sini,” kata Blu menunjuk kepalanya.

Bunyi nada aneh berulang menginterupsi mereka.

Blu meraih smartphone 4 inchi dari saku jaketnya lalu  menekan sisi benda itu hingga layar melebar menjadi 7 inchi.

“Siapa?” tanya Rheisa.

“Green,” jawab Blu, menyebut nama adiknya.

***

Logan Lerman as Blu

***

Pesan Kepada dr. Wongso,

Saya masih berharap prediksi itu tidak benar, Dok. Saya sangat berharap begitu.

Seandainya Dokter Wongso punya pandangan yang sama, saya akan sedikit lega karena ada orang lain yang bisa berbagi kekhawatiran yang sama. Sayangnya dokter tengah gembira, bukan?

Sore tadi salah satu pasien kebal saya terluka dan saya langsung terpikir tentang gejala yang pernah dokter katakan. Mereka berpotensi melakukan kekerasan. Dan entah kenapa itu membuat saya berpikir bahwa mereka butuh media untuk melampiaskannya.

Salam,
Reisha Red Habibie.

Pesan Kepada dr. Habibie,

Hahaha,

Please, Miss Reisha. Sebenarnya aku juga khawatir. Tapi kekhawatiranku berbeda karena dari awal aku sudah yakin akan hal ini. Aku lebih khawatir jika pemerintah tidak mau membuka mata. Aku sedang mengajukan rekomendasi ke Rumah Sakit Militer Pusat agar membuat pemetaan dan membagi database pasien kebal pada semua dokter. Maksudku SEMUA DOKTER.

Lucunya, salah satu temanku, seorang dokter kejiwaan juga kebal. Hahaha. Dan perawat yang membantuku seharian tadi juga kebal.

Penuh Hormat,
dr. Wongso.

To be continue…


Go to: Prolog | Bab 1 Bag. 1 | Bab 1 Bag. 2
Bab 2 Bag. 1 | Bab 2 Bag. 1

14 respons untuk ‘THE RESISTANCE: SATU – BAB 1 (Bag. 1)

  1. Hans berkata:

    Tadinya saya pikir dr. Habibie itu laki2 😅
    Tapi pas baca ulang, eh ternyata perempuan 😁
    Btw, kalo ngomongin jarum saya jadi ngilu sendiri soalnya takut sama jarum suntik. Hahaha 😂😂

    Disukai oleh 1 orang

  2. Gara berkata:

    Jadi ini settingnya di dunia masa depan ketika teknologi sudah begitu maju ya. Menarik, Mas. Kalau saya sempat mengikuti cerita ini saya penasaran dengan deskripsi teknologi masa depan itu, tentang keunikan-keunikan yang ada. Menurut saya di deskripsi itu nanti yang dapat membedakan kisah ini dengan kisah bersetting masa depan yang serupa, hehe. Semangat terus menulisnya, semoga kita bisa bertemu di episode mendatang.

    Disukai oleh 1 orang

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.