Cerpen: Catatan yang Cacat

Saya menulis cerpen ini secara spontan saat menemukan buku tulis yang masih baru di meja kerja. Ditambah, Wawa yang punya blog di sini, dengan baik hatinya, mencantumkan salah satu cerpen saya yang berjudul ‘Menyontek’ di posnya, dan itu memotivasi saya untuk kembali menulis cerpen.

Cerpen ini hanya untuk kamu yang dewasa karena sedikit bermuatan vulgar. Juga untuk kamu yang menyadari bahwa ketidakseimbangan di dunia itu ada dan tak bisa kita abaikan. Ada sedikit opini di dalamnya. Namun, jangan anggap opini itu murni dari saya karena sebenarnya, opini itu muncul begitu saja dari tokoh, bukan dari saya.

Lagi, kamu tak harus membacanya jika tidak siap dengan bahasan yang tidak senonoh dan yang berpotensi menyinggung perasaanmu. I’ve warned you about this.

Catatan yang Cacat
oleh rizzaumami

Aku ingin menulis sebuah catatan rahasia. Ini bukan diari seperti yang kau kira. Kalau aku jadi dirimu, aku akan memilih untuk tidak melanjutkan baca. Seandainya aku punya pacar, ia pun tak berhak untuk membaca ini. Maka alangkah bijaknya jika kau meninggalkan bacaan ini karena ada beban ketidakikhlasan dariku dalam bentuk dosa yang mengalir pada ‘akun’ dosamu. Kau tidak mau dosamu bertambah hanya gara-gara membaca tulisan kan? Jadi, tinggalkan. Ini bukan firman Tuhan yang diperintahkan padamu untuk dibaca seperti pada surat Al-Alaq. Dan, asal kau tahu, keluargaku pun tak berhak untuk membaca tulisan ini bahkan jika itu ibuku, karena aku baru saja membunuhnya tadi siang.

Kau masih membaca? Dasar manusia keras kepala! Kau sudah paham konsekuensinya kan? Kau berhak atas sebagian dosaku. Atau jangan-jangan kau tidak takut dosa? Kau cukup percaya diri dengan segala ibadahmu itu? Apa kau yakin ibadahmu itu bisa membayar dosa-dosa yang pernah kau perbuat ditambah dosa dariku ini?

Jika aku berdosa, Tuhan akan mengampuninya setiba hari raya.

Cih! Omong kosong apa itu? Tampaknya kau amat yakin dengan janji Tuhanmu itu. Ya, kan? Cobalah berpikir logis seperti diriku sekarang. Mana mungkin dosa-dosamu terhapus tanpa kau berkorban sesuatu? Ingat, kau melakukan sebagian besar dosamu itu dengan amat bangga. Lalu, dengan tak tahu dirinya, kau berakting minta ampun dari Tuhan. Kau ulangi dan lakukan itu setiap tahun. Kau pikir Tuhan semudah itu bisa kau bohongi? Sekali-kali, seriuslah dalam meminta ampun agar kau tidak terkejut melihat betapa besar dosamu di hari perhitungan. Dosa yang kau kira telah dihapus. Haha. Kau lucu.

Aku membunuh ibuku karena dia berselingkuh dengan mantan guru olahraga yang pernah memperkosaku waktu SMP. Aku laki-laki. Kau tahu kan maksudku? Dia memperkosaku dan aku hanya diam, tidak pernah melaporkannya pada siapapun, termasuk pada ibu, atau ayah yang sudah meninggal sebulan lalu. Jangan kira aku yang membunuh ayahku. Dia meninggal karena penyakit stroke. Atau mungkin karena takut dikejar kasus korupsi. Ya, ayahku seorang koruptor. Jika ada yang bertanya apa pekerjaan ayahku, aku akan jawab koruptor. Kenapa? Memang begitu kenyataannya. Lagipula semua orang sudah tahu. Setiap orang punya gadget untuk mencari tahu kasusnya. Buat apa aku tutup-tutupi? Aib yang sudah terbongkar bukan lagi aib. Aku tidak berdosa karena bercerita tentang aib ayah. Semua orang perlu tahu soal itu sebagai pelajaran agar tak mengikuti jalan hidupnya yang memalukan.

Kau masih membaca? Terima kasih karena dengan begitu kau berkontribusi dalam mengurangi dosaku. Kita sudah sepakat di awal, bukan? Jika kau merasa cukup dengan menerima dosa dari 5 paragraf yang terlanjur kau baca, berhentilah sekarang.

Waktu itu hari Jumat. Seharusnya aku berangkat ke kampus, tapi aku lebih memilih membolos. Ada rasa penasaran yang lebih penting untuk dijawab dibanding berangkat kuliah dan kehilangan kesempatan itu.

Aku bertukar mobil dengan temanku sebab aku tak mungkin membuntuti ibuku menggunakan mobilku sendiri. Dan tak mungkin pula aku mempercayakan ini pada orang lain atau membayar seseorang untuk melakukannya. Karena jika apa yang aku khawatirkan benar adanya, aku tak mau orang lain tahu lebih dulu dibanding diriku. Aku tidak mau menanggung malu untuk kedua kali setelah banyak orang mencaciku dengan sebutan ‘anak koruptor’, ‘anak bajingan’, atau ‘anak bangsat’. Tentu saja orang yang aku maksud itu adalah mereka yang berlindung di balik media sosial, bukan teman-teman nyataku.

Begitu aku tahu dugaanku benar, aku akan menyelesaikannya saat itu juga sebelum media menyebarkan apa yang telah terjadi. Karena itulah aku membawa serta revolver warisan ayah. Dia punya lisensi menembak. Dia perlu itu karena dia seorang pejabat. Sementara aku tidak. Setelah meninggal, senjata yang dia miliki sebenarnya telah ditarik kembali oleh kepolisian, tapi aku berhasil mengamankan yang satu itu.

Sejujurnya senjata itu memang diberikan ayah padaku. Ini ilegal karena tidak tercatat di kepolisian. Kau tahu kan bagaimana ayahku bisa memiliki sesuatu yang ilegal? Jika kau tidak tahu, berarti kau belum paham di bagian ayahku adalah koruptor.

Apa hukuman bagi pezina? Diasingkan? Dirajam sampai mati?

Aku menaruh curiga pada Thomas–mantan guru SMP yang biadab itu–semenjak prosesi pemakaman ayah. Ia berani datang pada keluargaku tanpa rasa malu sama sekali. Justru aku yang ketakutan melihatnya. Hanya aku dan dia yang tau tentang perbuatan menjijikkan itu. Aku tak berani menatapnya. Aku memilih menghindar. Namun, dia tampak biasa, seperti tak pernah melakukan ‘itu’ padaku. Atau dia lupa karena sudah terlalu banyak korban? Aku menyimpan rasa benci dan takut itu selama hampir 5 tahun.

Ia ternyata teman kuliah ibu sekaligus mantan kekasihnya. Apa ibu sudah terlalu kesepian dan berpikir untuk mulai mencari pengganti ayah? Aku tak bisa membayangkan hidup bersama ayah tiri yang … kau tahu sendiri cara terburuk untuk menyebutnya.

Malam sebelumnya aku sempat mendengar ibu akan pergi dengan Thomas hari Jumat pagi. Lalu itu terjadi pada Jumat siang, ketika seharusnya kalian, para lelaki yang punya kewajiban, pergi ke tempat ibadah. Itu terjadi di dalam mobil ibu, di tempat parkir mal lantai 2. Aku berjalan meninggalkan mobil temanku, mendekat ke kaca jendela mobil ibu.

Dan astaga! Aku jijik menjelaskannya. Mereka sedang memainkan bagian tubuh Thomas yang ada di antara kedua pahanya. Aku mundur dari kaca, teringat revolver yang terselip di celanaku.
Setelah beberapa detik yang cukup bagi Thomas untuk memasukkan kembali bagian tubuhnya itu, ia membuka pintu mobil, mendekatiku dengan wajah seorang pencuri yang tertangkap basah. Ibu masih di dalam. Entah membenahi apa.

Thomas hendak bicara. Namun, aku terlanjur menekan ujung revolver dari balik hoodie-ku ke perutnya lalu tanpa ragu menarik pelatuk. Thomas ambruk.

Terdengar jeritan. Suara ibu. Ia keluar, melihatku dengan ketakutan. Lalu, dengan rasa simpati yang tidak bersisa setelah menyaksikannya melakukan itu dengan Thomas, aku mengarahkan tembakan kedua ke dadanya.

Kemudian aku ke sini, menulis catatan ini.

Sebelum kuakhiri catatan ini, aku ingin bertanya padamu–jika masih ada yang membaca sejauh ini. Hukuman apa yang pantas bagi pezina?

Aku telah membunuh mereka. Apakah aku berdosa? Aku sendiri tidak tahu. Namun, jika memang berdosa, aku siap dihukum. Asal hukuman itu benar-benar bisa menghapus dosa. Bahkan jika hukuman itu adalah mati.

*the end*


You can read my other stories in Wattpad, here.

35 respons untuk ‘Cerpen: Catatan yang Cacat

  1. Nur Irawan berkata:

    Haduw…. kok begitu banget cerita nya bang…
    Membunuh itu jahat, tapi melihat orang tuanya seperti itu juga jahat.. dan udahlah…. ini hanya fiktif hahahaha 😀 #efekbaperdengancerita

    Disukai oleh 1 orang

  2. Desfortin berkata:

    Waw, ini cerpen tnpa dialog. Keren copywritingnya.

    Imajinasinya ekstrim. Tapi sprtinya Anda bertanya dan minta pndpt ttg membunuh dmikian, tp sprtinya tdk jg, Anda hnya ingin berkhayal, ahh…sudahlah.

    Klau nurutku sih, manusiawi yg dilakukan si tokoh “aku” ini, aplgi klau udh punya pnglman buruk dg si Thomas itu. Ditambah rasa jijik atau dendam itu.

    Tp yng psti sprti judulnya, Catatan yang catat, si aku ini jlas hrus menghdpi proses hukum krn telah menghilangkan nyawa org lain.
    Seharusnya, harga nyawa satu manusia sama harganya dg satu mnusia lainnya. Nyawa gnti nyawa. Ngeri kan. Bgtu klau menurut, buku “panduanku”. Mata ganti mata, gigi ganti gigi. Tp itu dulu, stlah dicerahkan dg “kisah baru” buku “panduanku” itu, pmblsan sesadis itu adalah hak-Nya, bkn kita.

    Disukai oleh 1 orang

  3. Vallendri Arnout berkata:

    Huuh. . . Kamu berhasil Umami. Jarang aku bisa masuk ke emosi tokoh cerpen, terlalu singkat kadang sekalilun ditulis oleh yang pro.

    Like it like it like it. . .

    Disukai oleh 1 orang

  4. Wawa berkata:

    Ahhhh… Iriiiii…. 😂😂😂
    Wa pengen buat cerpen jugaaaaaaaaaaa..
    Ajariiiiiin.. 😁😁

    Mengenai isinya, waah kelam.. Narasinya nggak panjang tapi dapet sih poinnya dari awal sampe akhir.. Good writing!

    Disukai oleh 1 orang

    • rizzaumami berkata:

      Udah pernah nulis cerpen kan Wa? Coba baca-baca lakon hidup atau baca kumpulan cerpen dr penulis papan atas trus coba nulis lagi. Memulai lagi pasti sangat susah, but it’s worth it to do.

      Suka

      • Wawa berkata:

        Iya mas.. Memang kalo cerpen biasa baca lakonhidup.. Tapi selama ini nggak sering2 hehehe.. Perlu konsentrasi penuh utk melahap cerpen2nya..

        Tapi skrg udh mulai baca2 cerpen lagi..

        Iyaaa.. Memang susah tapi harus semangaaaat 😁
        Btw, siapa cerpenis2 kesukaan mas?

        Suka

  5. shiq4 berkata:

    Wah ini kelam hidupnya. Mungkin setelah menulis catatan di atas, pelakunya benar-benar bunuh diri sebagai bentuk pembenaran semua tindakannya. Menggangap kematian sebagai hukuman yang pantas 😀

    Disukai oleh 1 orang

  6. Melan berkata:

    Rasanya sya menjadi si anak lelaki yg dengan sangat sadar menyaksikan semua. Susah banget bedain ini fiktif, kalo orang awam pasti ngira ini beneran. I am standing to applause you, si lelaki as a great author!!

    Disukai oleh 1 orang

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.