Resensi Novel Critical Eleven – @IkaNatassa

Kali ini saya akan meresensi atau mereview (bahasa kerennya) novel Ika Natassa yang berjudul Critical Eleven. Novel yang ada di tangan saya ini cukup spesial karena merupakan satu copy limited edition-nya dari 1.111 buku edisi pre-order (kabarnya ludes dalam 11 menit). It’s such a lucky number.

Kalau kamu udah tahu penulis novel ini, atau malah sudah baca semua novelnya, kamu pasti setuju jika saya bilang Ika Natassa selalu sukses dengan branding dan marketing bukunya. Terbukti dengan susah payahnya dapetin buku edisi pre-order ini, yang tentu saja hanya orang-orang dengan strategi dan koneksi internet oke yang bisa dapet, he.

SINOPSIS.
(kalau sudah pernah baca sinopsisnya, silakan skip)

Dalam dunia penerbangan, dikenal istilah critical eleven, sebelas menit paling kritis di dalam pesawat—tiga menit setelah take off dan delapan menit sebelum landing—karena secara statistik delapan puluh persen kecelakaan pesawat umumnya terjadi dalam rentang waktu sebelas menit itu. It’s when the aircraft is most vulnerable to any danger.

In a way, it’s kinda the same with meeting people. Tiga menit pertama kritis sifatnya karena saat itulah kesan pertama terbentuk, lalu ada delapan menit sebelum berpisah—delapan menit ketika senyum, tindak tanduk, dan ekspresi wajah orang tersebut jelas bercerita apakah itu akan jadi awal sesuatu ataukah justru menjadi perpisahan.

Ale dan Anya pertama kali bertemu dalam penerbangan Jakarta-Sydney. Tiga menit pertama Anya terpikat, tujuh jam berikutnya mereka duduk bersebelahan dan saling mengenal lewat percakapan serta tawa, dan delapan menit sebelum berpisah Ale yakin dia menginginkan Anya.

Kini, lima tahun setelah perkenalan itu, Ale dan Anya dihadapkan pada satu tragedi besar yang membuat mereka mempertanyakan pilihan-pilihan yang mereka ambil, termasuk keputusan pada sebelas menit paling penting dalam pertemuan pertama mereka.

Diceritakan bergantian dari sudut pandang Ale dan Anya, setiap babnya merupakan kepingan puzzle yang membuat kita jatuh cinta atau benci kepada karakter-karakternya, atau justru keduanya.


Detail Book
Judul: Critical Eleven
Author: Ika Natassa
Pages: 344 halaman
Publisher: Gramedia Pustaka Utama (Agustus 2015)
Literary Awards: Anugerah Pembaca Indonesia, Nominasi Buku dan Penulis Fiksi Terfavorit.


Di banyak review dan resensi lain, sudah dijelaskan tentang istilah critical eleven. Critical eleven adalah 11 menit paling kritis dalam pesawat, yakni 3 menit setelah take off dan 8 menit sebelum landing, karena secara statistik 80% kecelakaan pesawat umumnya terjadi dalam rentang waktu sebelas menit itu. Ika mengambil analogi menit itu untuk pertemuan dan perpisahan tokoh utama dalam pesawat. 11 menit itu menjadi sangat spesial karena seiring berlalu, 11 menit itulah yang menjadi pondasi awal kehidupan mereka.

Maksud yang berhasil saya tangkap dari analogi critical eleven ini terletak pada esensi pertemuan mereka, bahwa critical (masa kritis) itu terletak pada pertemuan dan perpisahan, bukan kekhawatiran akan terjadinya kecelakaan pesawat seperti sebagaimana istilah itu.

Sesudah menyelesaikan bacaan hingga lembar terakhir novel ini, saya sedikit bertanya-tanya tentang makna critical eleven. Bukan secara ilmiah seperti yang saya kutipkan di atas. Tapi makna critical eleven untuk menampung fragmen-fragmen yang telah Ika tuangkan dalam bab awal hingga akhir. Apakah critical eleven itu hanya mewadahi peristiwa pertemuan pertama kali antartokoh utama? Jika itu benar, agak mengecewakan buat saya. Karena pertemuan itu hanya fragmen kecil dari novel ini. Namun, jika maksud dari critical eleven itu adalah masa kritis untuk keseluruhan perjalanan hubungan antartokoh, saya sangat setuju.

Tokoh utama dalam novel ini adalah Ale dan Anya. Ale adalah seorang petroleum engineer sementara Anya seorang management consultant. Keduanya bertemu pertama kali dalam penerbangan Jakarta-Sydney. Pertemuan pertama itu adalah momen penting yang mengantarkan mereka ke pernikahan. Konflik besar dalam Critical Eleven ini dapat kalian temukan pada kerenggangan hubungan antara Ale dan Anya semenjak kematian bayi mereka.

‘Diceritakan bergantian dari sudut pandang Ale dan Anya, setiap babnya merupakan kepingan puzzle yang membuat kita jatuh cinta atau benci kepada karakter-karakternya, atau justru keduanya.’ (kutipan dari sampul belakang).

Saya menjawab kalimat yang saya garis bawahi di atas dengan mengutarakan bahwa saya lebih benci kepada karakter Anya. Membenci karakter dari suatu novel bisa dibilang kelebihan penulis dalam menghidupkan karakter tersebut, karena mereka terasa nyata. Anya, buat saya terlalu keras kepala dan drama, dan itu membuat saya berkali-kali membencinya.

Hmmm, lagi baca, jangan ganggu :*

Hmmm, lagi baca, jangan ganggu :*

Bagian yang saya kagumi dari materi pembangun cerita novel-novel Ika Natassa adalah cara dia menghadirkan pengetahuan ilmiah, referensi yang dia gunakan, dan merk-merk barang yang oke punya. Saya juga mengapresiasi cara dia mengumpulkan semua informasi/cara dia riset dengan melibatkan banyak sekali ahli di bidang tersebut. Bagi saya, penulis boleh dibilang berhasil menghadirkan cerita yang masuk akal manakala materi yang dia pakai berasal dari orang yang mengalami sendiri. Saya tahu betapa Ika telah mati-matian meramu bahan-bahan untuk novel ini melalui halaman acknowledgement di lembar akhir.

Bicara tentang kekurangan, (bukan seutuhnya kekurangan, hanya saja bagi saya agak mengganggu) yaitu bagian keberadaan Jack, anjing peliharaan Anya dan Ale, serta kebiasaan Anya minum wine. It’s ok minum wine sih. Saya juga punya teman yang minum tapi tetep rajin salat. Dan di sini ceritanya Anya dan Ale muslim, nikah dengan maskawin 100 gram emas dan seperangkat alat salat tunai. Ale dikenal sebagai sosok yang taat agama. Tapi hal ini tidak mengubah pandangan saya pada keseluruhan isi cerita di novel ini.


AKAN DIFILMKAN?

YA, benar! Kabar ini semakin jelas bulan Desember tahun 2016 lalu setelah Reza Rahadian dan Adinia Wirasti ditunjuk sebagai pemeran tokoh utama. Dan film ini disutradarai oleh orang yang mensutradarai Sabtu Bersama Bapak, yaitu Monty Tiwa. Saya sendiri tidak sabar menunggu filmnya karena saya punya ekspektasi sendiri untuk novel ini. Saya penasaran melihat adu akting Reza-Adinia dalam memerankan karakter Ale-Anya. Secara Reza-Adinia ini kan pernah dinobatkan sebagai pasangan terbaik Indonesian Movie Awards tahun duluh. Saya cuma berdoa saja semoga versi film tidak jauh berbeda dari isi novelnya. Karena saya yakin film ini pasti lebih banyak ditunggu oleh penggemar novelnya dibanding penggemar Reza-nya, he.

Adinia Wirasti dan Reza Rahadian (source Twitter)

Adinia Wirasti dan Reza Rahadian (source Twitter)


Selain Critical Eleven, kabarnya novel Ika yang lain seperti Antologi Rasa, Twivortiare, dan The Architecture of Love juga akan diangkat ke layar lebar. Hmmm, Ika kayaknya bakal merajai film metropop dalam negeri.

 

26 respons untuk ‘Resensi Novel Critical Eleven – @IkaNatassa

  1. firafirdaus berkata:

    Aku sering liat novelnya di tokbuk, tapi blm tertarik. Gara gara baca ini jadi tergoda nih bang 😅
    Karya ika natassa lain yang direkomendasikan apa ya?

    Suka

  2. awwgie berkata:

    Baca buku ini gegara banyak info yang seliweran di twitter yg bilang buku ini bagus. Dan embel embel best seller dll. Pas baca ya biasa saja. Judul novelnya saja yg heboh. Konflik Anya dan Ale terasa lambat banget. Eh endingnya malah berasa kecepetan. Lagian ga terlalu suka dengan novel dgn gaya penceritaan orang pertama. Apalagi ganti gantian. Mungkin bukan genre aku aja baca novel jenis roman atau metropop gini.

    Suka

    • rizzaumami berkata:

      Beberapa review juga bilang gitu, gi. Tapi buat mereka yg udah fan abis sama tokoh yg diciptakan sama penulis tetep oke aja gimanapun tempo atau jalan ceritanya. Mungkin km mesti istirahat sejenak dari metropop. Kalo dilihat-lihat kayaknya km lebih prefer ke thriller, suspense, distopia, sci fiction, ya ga gi? 🙂

      Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.