Kriteria (Cerpen)

Aku duduk sendirian menunggu seorang wanita. Kata temanku, wanita itu baik, pintar, juga peduli. Aku percaya ucapannya lantaran selama berteman ia jarang berbohong. Ketika kutanya cantik atau tidak rupa wanita itu, temanku menolak memberi pendapat. Bagiku penilaian ini amat penting. Sebelumnya aku sering memacari wanita-wanita yang lumayan cantik. Hanya saja aku tidak bertemu mereka dari kencan buta norak seperti yang tengah kulakukan ini. Kebanyakan mereka adalah teman semasa kuliah atau teman kerja. Sayangnya, sekarang aku telah melabeli mereka sebagai mantan. Aku harap wanita yang akan kutemui nanti punya paras yang tidak lebih buruk dari pacar terakhirku, minimal setara. Sebagai sedikit penekanan, saat ini aku sedang berjuang membuktikan pada teman-temanku bahwa ada wanita cantik yang akan menerima lamaran menikah dariku meski aku memiliki kebiasaan buruk.

Setahuku, orang-orang yang bertemu di kencan buta adalah mereka yang memiliki rupa kebanyakan; tidak terlalu tampan atau cantik. Aku biasa menyebut mereka kaum tidak laku. Kaum tidak laku dapat dibayangkan seperti sekelompok orang yang putus asa dalam hubungan sosial akibat tidak lekas menemukan pasangan mereka. Tidak jarang kamu akan menemui mereka memohon padamu untuk dikenalkan pada sesama jomblo. Lucunya, kini aku menjadi bagian dari kaum tidak laku itu. Bedanya aku memiliki wajah yang lumayan tampan sebagaimana kata mantan-mantanku. Sumpah, demi Tuhan kalian! Awalnya aku enggan melakukan kencan buta ini. Namun, kalau dipikir-pikir aku memang sudah cukup lama hidup tanpa wanita. Dan kondisi semacam ini menyadarkanku untuk melihat teman-temanku yang sudah berumah tangga. Selain itu, nyaris setiap bulan aku menerima undangan pernikahan dari teman-temanku. Kamu boleh bilang aku tertekan karena undangan yang silih berganti itu. Tetapi, yang membuatku lebih tertekan adalah perkataan ibu sebelum ia meninggal. Ia bilang, “Ibu ingin kamu menikah sebelum usiamu tiga puluh.” Aku sering tanpa sadar melihat kalender setiap kali ingat ibu. Enam bulan lagi, aku mencapai usia tersebut. Rahasia ini kusimpan sendiri. Hanya aku, ibu, dan Tuhan yang tahu. Aku menyimpannya rapat dari siapapun. Termasuk dari paman yang membiayai hidupku sejak ibu tidak ada hingga aku bisa menghasilkan uang sendiri―aku berjanji akan mengganti semua biaya yang paman keluarkan paman untukku.

Malam ini <em>foodcourt</em> tempatku memesan kopi dalam rangka menunggu datangnya wanita misterius itu cukup sepi. Hanya empat meja yang ditempati pengunjung dari 15 meja yang tersedia. Padahal biasanya pada jam 7 seperti sekarang, nyaris semua meja terisi. Aku memang sering ke sini (dulu sewaktu masih punya pacar). Aku duduk di meja nomor lima, di sudut paling jauh dari pintu masuk. Aku memilih posisi ini supaya bisa langsung melihat pengunjung yang tiba di pintu. Temanku bilang, wanita itu akan memakai sepatu bot hitam berhak tinggi. Aku meminta ia memberi tahuku ciri-ciri sepatunya, sebab aku suka melihat seseorang dari kaki. Belum ada alasan yang lebih logis mengenai hal ini. Untuk sementara, aku berdalih, mengamati seseorang dari bawah ke atas jauh lebih aman dari sikap intimidatif. Kamu tentu lebih sebal jika diamati dari atas ke bawah, bukan?

Aku bilang pada temanku kalau aku mengenakan kaus biru supaya dia bisa bilang pada wanita kencan butaku itu. Warna ini netral untuk semua pria. Tidak terlalu mencolok dan wanita sering menilai warna biru pada lelaki merupakan simbol kekuatan untuk melindungi. Aku percaya hal semacam itu sejak dulu.

Sambil menunggu kedatangan wanita misterius itu, akan kuceritakan sedikit tentang diriku. Aku dikenal sebagai orang yang berprinsip. Aku menganggap begitu meski seringkali mereka mengutukku soal anggapan itu. Aku hanya mandi pada hari minggu pagi. Biar kuulangi, ‘hanya pada hari minggu pagi’. Semua orang yang mengenalku harus tahu tentang ‘prinsip’ ini. Aku bukan tipe orang yang tertutup. Aku selalu berterus terang. Jadi, mereka yang hingga sekarang tetap berteman baik denganku hanyalah orang yang tidak keberatan berdampingan dengan prinsip tadi. Aku tidak akan bicara soal kesehatan. Aku tahu betul setiap jengkal kondisi tubuhku. Bagian-bagian yang bertahi lalat, posisi keloid, juga bekas jahitan di beberapa titik. Aku selalu memeriksakan kesehatanku ke dokter keluarga alias dokter pribadiku sebulan sekali. Secara logika, tidak mandi tak akan membuatmu sakit. Hanya bau. Untuk mengatasinya, aku selalu siap sebotol parfum kecil di tas. Selain itu, aku juga harus kelihatan bersih. Asal kalian tahu, meski hanya mandi pada hari minggu, bukan berarti aku menghindari air selama enam hari. Aku tetap berhubungan dengan air. Tentu saja untuk buang air besar dan kecil (aku benci tisu). Tapi bukan itu saja. Seandainya mereka tahu kalau aku selalu mencuci muka, tangan, dan kakiku sebelum tidur, tentu mereka akan sedikit menaruh respek atas prinsipku. Ya, mereka sering mengolok cara hidupku. Aku memakluminya asal kami masih berteman.

Sudah sejam aku duduk di kursi ini. Baterai ponselku nyaris habis. Aku tak bisa menghubungi siapapun kalau benda ini mati. Wanita itu sepertinya tidak datang. Dia sudah merampas satu jam berhargaku hanya untuk duduk di sini. Sebelum aku pulang dengan membawa sedikit kekecewaan (di sisi lain aku senang, sebab aku bisa bilang pada temanku kalau kencan buta memang bukan sesuatu yang cocok dengan diriku), aku memutuskan untuk tetap duduk di sini sebentar, menunggu hingga baterai ponselku benar-benar kosong dan menunggu pesanan makan malamku. Aku pantang pergi dari sini sebelum makan sesuatu.

Seorang pelayan foodcourt memutari meja-meja, mengambil kertas pesanan yang selesai ditulis pengunjung. Aku memandangi punggungnya. Lalu mataku mengamati simpul tali celemek di atas pantatnya dan berharap ia menengok padaku. Pesananku belum datang juga setelah hampir 15 menit. Seingatku aku tak pernah menunggu pesanan di sini selama itu, atau mungkin ini hanya karena kejenuhanku akibat menunggu wanita asing yang nampaknya mendadak pergi setelah melihatku dari kejauhan.

Saat lampu remang berganti dengan kerlip cahaya mirip di diskotik, aku mendapati diriku tengah mendekati meja seorang wanita yang sedari tadi duduk sendirian. Foodcourt ini wajib menyalakan lampu aneh mulai jam 8 malam hingga larut.

“Boleh aku duduk di sini? Kalau kamu keberatan aku akan kembali ke mejaku,” kataku lalu melihat ke meja yang kutinggalkan yang ternyata sudah ditempati pengunjung lain. Aku mengumpat dalam hati. Tempat ini mulai ramai.

Wanita asing ini terperanjat. Tadinya kupikir ia sengaja menyendiri. Aku sempat melihatnya sedih.

“Oh, tidak. Silakan. Aku sedang menunggu seseorang, tapi sepertinya ia tidak datang.”

“Sudah kamu hubungi?” tanyaku meski sebenarnya aku lebih berharap orang yang dia maksud itu benar-benar tidak akan datang.

Ia tersentak. Mungkin ia belum nyaman denganku. “Tidak,” jawabnya sedikit cuek.

“Aku juga sedang menunggu seorang teman,”―aku berbohong soal teman―”dan sepertinya ia batal ke sini. Ponselku mati,” sambungku cepat sebelum ia bertanya.

Wanita ini punya senyum yang manis. Apa aku perlu berkenalan lebih jauh dengannya? Entah. Kurasa aku menginginkannya.

“Sudah memesan makanan?”

Ia menggeleng.

“Aku akan memesankanmu.”

Ia menggeleng lagi.

“Tidak perlu. Aku sudah memesan jus.”

“Jus di malam hari?”

Lagi-lagi ia menamparku dengan senyum briliannya. Dan itu membuat sesuatu di dalam celanaku mulai berkedut. Sialan.

Sewaktu makan malamku datang, kami mulai saling menyerang dengan lelucon-lelucon garing tentang betapa menyebalkannya menjadi orang yang menunggu, mulai dari menunggu seperti yang kami lakukan tadi, hingga menunggu seseorang untuk menyatakan perasaan pada orang lain. Aku tersenyum pahit ketika membahas bagian terakhir. Aku sudah lama kehilangan debar jantung layaknya pria yang cemas menunggu jawaban dari calon pacarnya. Penyebabnya memang sedikit  arogan. Aku selalu yakin cintaku diterima. Dan bagiku, hal itu tidak menantang. Aku mengemis pada para wanita, mereka menerimaku, lalu aku pula yang memutuskan hubungan. Semua hubungan itu tidak pernah cocok. Mereka terlalu banyak menuntut. Sementara aku bukan tipe pria yang hobi menampung tuntutan yang butuh realisasi itu.

“Dia tidak memberitahuku nama pria itu,” ujarnya tiba-tiba. Seingatku aku belum memancingnya untuk membahas tentang nama.

“Dia? Siapa?” tanyaku. Wanita ini tersentak untuk ke sekian kali. Ia pura-pura sibuk dengan jusnya.

“Maaf. Aku terlalu banyak bicara.”

“Tidak apa-apa. Kamu sedang bersama orang yang tepat,” ucapku sambil mengunyah mi. Ia sempat menatapku ragu, namun kelihatan begitu ingin menyampaikan banyak hal.

“Dia itu maksudku temanku. Dia adalah teman yang merekomendasikanku pada pria ini.” Aku mendengarkan begitu cermat. “Sebetulnya, aku ke sini untuk melakukan kencan buta,” terangnya.

“Oh, ya?” Aku menunjukkan sikap datar, pura-pura tidak terkejut.

“Iya,” jawabnya singkat. Sial. Kupikir dia akan memberikan jawaban yang lebih panjang. Bukan hanya dengan ‘iya’ saja.

“Kalau kamu tidak keberatan, aku akan menganggap ini lucu,” gurauku lalu tertawa sebentar. “Akhir-akhir ini aku sering mendengar kisah soal kencan buta dari teman-temanku. Itu cerita tentang pertemuan canggung yang seru. Bagaimana bisa kamu mengalaminya? Aku ingin mendengar awal kisahnya,” kataku mencoba memancingnya.

“Benarkah?” Ia tampak antusias. Aku bersyukur melihat responsnya. “Awalnya kupikir ini memalukan. Kamu tahu, bukan? Sebab ini tentang aku yang terlalu bodoh dalam mencari pasangan.”

Aku memindahkan perhatianku sejenak dari mi menuju wajahnya. Sebenarnya sudah sejak tadi aku menahan untuk mengaguminya. Hanya saja, aku khawatir ia merasa terintimidasi kemudian meninggalkanku dengan wajah terguyur segelas jus, seperti dalam adegan sinetron.

“Aku percaya kamu punya kriteria yang sangat ketat hingga bersedia menjalani kencan semacam ini,” ujarku. Dia tertawa lebar.

“Tentu saja,” sahutnya―ia menyuguhkan senyum centil. “Mungkin itu yang membuat banyak pria menjauh dariku. Mereka tidak betah. Aku terlalu pilih-pilih. Aku mencari pria yang baik. Terutama yang tidak memiliki kebiasaan buruk.”

Aku tertarik. “Kebiasaan buruk seperti misalnya mengupil?” Aku tertawa. Dia juga. “Mendengus seperti ini”―aku memberi contoh untuk menghiburnya―“atau menggaruk pantat di tempat umum?” Ia tertawa lagi.

“Itu bisa diatasi,” katanya sambil bersusah payah menyelesaikan sisa tawa. “Maksudku bukan yang seperti itu. Mungkin yang lebih spesifik seperti tidak mabuk, tidak merokok, dan harus selalu bersih serta wangi,” tuturnya.

Aku memeriksa penjelasannya. Apa aku tergolong tipe pria yang ia kriteriakan? Aku sudah meninggalkan minuman beralkohol. Aku tidak suka merokok. Dan kurasa aku bersih, juga wangi. Tapi, apa dia bisa menerima orang yang hanya mandi pada hari minggu? Kurasa akan bagus jika aku bertanya langsung padanya. Ah, seperti inikah rasanya kencan buta yang dilakukan kaum tidak laku?

“Bagaimana dengan mereka yang jarang mandi? Mereka tidak pernah masuk kategori pria idamanmu, dong,” kataku berpura-pura, padahal aku tengah mengasihani diri sendiri.

“Asal mereka sanggup menjaga kebersihan badannya, dan tetap wangi. Tak masalah.” Aku semakin bersemangat. Ini tentang aku.

“Apa kamu pernah bertemu dengan orang yang hanya mandi sekali dalam seminggu?”

“Ha?!” Dia tertawa.

Apa aku berhasil menghiburnya, ataukah dia menertawakanku?

“Orang itu pasti sangat malas dan jorok,” komentarnya.

“Kurasa tidak.” Aku tidak terima. “Dia bisa menjaga dirinya supaya selalu bersih. Dan wangi, tentunya.”

“Aku tidak percaya.” Ia tertawa. Dia pikir ini lelucon garing. Kurasa aku harus berjuang lebih keras untuk mengubah persepsinya soal jarang mandi.

“Seperti apa rupa pria yang akan berkencan buta denganmu?” tanyaku terburu-buru untuk mengganti pembicaraan. Kuharap dia menjawab kalau pria itu tidak lebih tampan dariku. Dia memandangiku, menimbang-nimbang, mungkin untuk menilai penampilanku.

“Kata temanku, dia memakai kaus biru. Hanya itu yang kutahu. Temanku bahkan tidak memberitahukan namanya padaku.”

“Biru seperti yang kupakai?” Aku tidak sabar. “Siapa nama temanmu?” Aku merasa ada yang janggal.

“Biru? Kupikir kausmu merah?” Dia tertawa.

Apa ada yang keliru pada matanya?

“Ini biru,” ujarku membenarkan.

“Kamu lucu sekali. Sepertinya kita mesti berteman.” Ia mengulurkan tangan, “Namaku Irene.”

Aku ragu. “Panggil aku Tommy.”

Aku menelengkan kepala untuk mengintip kakinya. “Kalau boleh tahu, sepatu apa yang kamu pakai itu?”

“Ini?” Ia menunjuk ke bawah. “Ini sepatu bot. Ini model populer yang jarang dimiliki wanita. Aku suka. Terutama jika berwarna gelap seperti ini.”

“Sepatu botmu?”

Bukankah warnanya menyala? [*]


Menulis cerpen buat saya itu bukan semacam hobi, tapi seperti hujan yang sangat diharapkan, namun kadang datang di saat yang tidak tepat. Beruntungnya jika hujan itu datang terus-menerus ketika kamu membutuhkannya.

8 respons untuk ‘Kriteria (Cerpen)

  1. aulia berkata:

    Kisahnya mengalir dan enak diikuti. hidup mmg penuh dg pilihan ya, smua orang punya kriteria dlm menentukan pilihan tersebut, tentunya dg segala konsekuensinya.

    Aku berpikir di cerpen ini msh banyak ruang utk melukiskan karakter tokoh Aku, mislnya dari pilihan makanan (meski pd akhirnya ternyata mi), sampai pada bbrp ciri obsessive yang ia miliki. Paragraf awal sedikit lamban menurutku, aku baru tertarik saat info ‘jarang mandi’ muncul. Tpi secara keseluruhan, ini enak dibaca, rapi. 😊

    Suka

    • rizzaumami berkata:

      Thanks aulia. Komentarnua juga enak dibaca. Jadi tahu mana yg mesti dibenahi 🙂 . Iya bener. Paragraf awal aku juga ngerasa temponya lambat. Sampe sekarang jg aku masih lemah dalam karakterisasi tokoj 😉

      Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.