Bertetangga Dengan Tetangga #JR1208

rizza umami

Kebanyakan dari kita ketika menginjak usia setelah SMA, 18 tahun atau lebih, akan mendapat wewenang dari orang tua untuk tinggal jauh dari rumah, untuk bekerja atau melanjutkan pendidikan. Orang tua percaya, di usia tersebut kita dianggap sudah cukup memiliki bekal untuk menjaga diri dari pengaruh lingkungan. Namun, kepercayaan ini tidak selalu diimbangi dengan kondisi masing-masing kita. Kadang ekspektasi orang tua terlalu tinggi, terlalu memercayai kita. Kadang juga ekspektasi orang tua sangat kurang sehingga seringkali malah mengekang pergerakan kita.

Bagaimanapun, ketika kita sudah tinggal jauh dari orang tua berbekal kepercayaan dari mereka, tentu kita tidak boleh membuat mereka kecewa meski harus mematuhi sekian peraturan yang barangkali mereka tidak akan tahu manakala kita langgar.

“To be trusted is a greater compliment than to be loved.” –James Ramsay MacDonald

Hidup jauh dari orang tua dan tanpa pengawasan membuat kita seolah memiliki wewenang untuk melakukan apa saja. Namun, tentu saja kita tidak akan merusak kepercayaan tersebut bukan?

Saya sesekali membayangkan menjadi orang tua yang sedang membesarkan seorang anak. Dalam imajinasi, saya tinggal di kompleks rumah kos dan kontrakan, bertetangga dengan remaja-remaja yang kuliah di kampus dekat dari sini dan juga bertetangga dengan beberapa warga. Saya yakin, jumlah rumah yang ditempati oleh orang-orang seperti kami lebih sedikit dibanding rumah yang disewakan atau dikontrakkan pada anak-anak kuliah itu. Sehingga setiap musim libur tiba, kawasan ini menjadi sangat sepi.

Keseharian saya selain mengantarkan anak ke Sekolah Dasar adalah bekerja sebagai juru masak di sebuah cafe. Jam kerja dimulai pukul 9 pagi hingga pukul 4 sore. Pada jam pulang Sekolah Dasar, saya diperbolehkan menjemput anak saya sebab ibunya harus berada di tempat laundry pakaian, tempat dia bekerja, ditambah dia tidak bisa mengendarai sepeda motor. Saya tidak pernah membiarkan anak saya pulang sendiri atau diantarkan oleh orang lain. Saya adalah orang yang sulit memercayai siapapun kecuali pada istri saya.

Selain kesibukan tersebut, saya punya rutinitas lain. Saya dibayar untuk membersihkan serta mengawasi sebuah rumah kos untuk cewek di seberang jalan gang depan rumah. Dari teras rumah, saya langsung bisa melihat siapa yang keluar atau masuk ke sana.

Dalam benak saya, yang terngiang kuat tentang anak kuliah seperti mereka adalah pulang-pergi tidak tentu, bersenang-senang dengan tertawa yang kadang berlebihan, sebagian ada yang senang beraktivitas menyendiri, sebagian ada yang sering mengajak banyak teman, ada yang mengijinkan cowok masuk, ada yang keluar lalu bicara entah apa dengan cowok di depan gerbang kos sampai berlarut-larut, ada yang pulang-pergi diantar oleh mobil dengan nomor polisi yang bisa dibaca, dan sebagainya-dan sebagainya. Itu yang sering teramati oleh saya sebagai pengawas. Dan tugas saya hanya sebatas mengawasi. Saya tidak memiliki wewenang untuk mengatur mereka.

Sesekali saya berpikir tentang mereka. Saya pikir, seandainya saya tinggal di suatu tempat, saya harus mengenal orang yang tinggal di kanan-kiri saya. Pikiran ini muncul sebab mereka jarang sekali menyapa saya kecuali satu-dua orang. Dan cuma orang-orang itu saja. Saya penasaran kenapa mereka enggan berinteraksi dengan saya. Padahal saya kira saya adalah tetangga mereka. Apa anak saya kelak ketika sudah seusia mereka akan menjadi seperti mereka? Apa anak saya akan mengabaikan orang seperti saya di suatu tempat yang terpisah dari orang tua? Rasanya saya tidak akan membebaskan pilihan kepada anak saya dalam urusan melanjutkan pendidikan. Saya khawatir anak saya termasuk remaja yang membuat gusar orang tua seperti saya.

Atau, kehidupan para remaja itu memang harus seperti itu dan ekspektasi saya yang keliru?

***

Saya kembali menjadi diri saya yang asli.

2011 saya tinggal di Solo. Kehidupan bertetangga yang kami rasakan memang demikian. Kami hanya kenal dengan Ibu Kos, Ibu Pendeta yang tinggal tepat di depan kosan, pemilik angkringan, penjual makanan, Ibu Laundry, dll yang mendukung kehidupan kami. Lalu 2013 saya pindah ke sebuah kontrakan, masih di Solo. Pola yang sama terulang. Dan saya bertemu beberapa orang tua seperti tokoh saya di atas. Mereka bukan penjual makanan yang sering kami ajak ngobrol, bukan pula ibu yang kerap membersihkan rumah kontrakan yang kadang kami ajak bicara, bukan juga mbak-mbak laundry yang kami sapa setiap kali lewat rumahnya, dll. Mereka bukan siapa-siapa. Mereka hanya orang tua yang tidak berhubungan langsung dengan kehidupan kami di sini. Mereka terwujud dalam sosok seorang tua yang hanya keluar ketika menjemur burung-burung peliharaan, orang tua pengantar galon-yang-bukan-langganan-kami, orang tua yang selalu menuju masjid untuk sholat, dll.

Salah satu dari mereka mempersembahkan pada kami sorot mata yang peduli serta ingin tahu. Dan saya jadikan orang tua itu sebagai ‘teman’. Meski tidak berhubungan langsung dengan kehidupan kami, kami sering menyapanya. Siapa yang tidak tertarik untuk menyapa seorang tua yang terlihat dari ekspresinya sedang menanti kita agar menyapa?

Namun, hal itu tidak berlaku untuk orang tua lain yang bahkan kami amat kesulitan menemukan ekspresi keterbukaannya agar kami bisa leluasa menyampaikan sapaan-tak-penting-ini. Apa mereka diam-diam menanti interaksi atau malah sengaja mencegah terjadinya interaksi?

Atau kehidupan para orang tua itu memang harus seperti itu dan ekspektasi saya yang keliru?

Semoga jawabannya adalah TIDAK.


Tulisan ini diikutkan dalam Jalan Remaja 1208.

38 respons untuk ‘Bertetangga Dengan Tetangga #JR1208

  1. Gara berkata:

    Hmm… kata orang saya tipe orang yang agak susah bergaul juga, jadi memang saya jarang sekali menyapa. Ini memang tidak baik, tapi memang demikian adanya, bahkan saya tak kenal dengan orang yang kos di depan kamar saya… :huhu. Ya mungkin tulisan ini semacam mengingatkan saya supaya sedikit lebih supel jadi orang… meski itu susah. Ah, ini juga mungkin karena saya terbiasa sendiri? Jadi bingung :haha.

    Disukai oleh 1 orang

    • rizzaumami berkata:

      It’ oke, Gar. Apalagi kalo kamu udah menyadari hal yang kamu anggap sebagai kekurangan, Dengan begitu sy yakin kamu akan merasa perlu membenahinya. Menjadi orang tidak harus supel kok. Tidak harus berngobrol ria ke sana ke mari. Saya malah seringnya ‘yok, pak’ ‘yok, mas’ ‘mbak?’ dan lain-lain. Apalagi kalo sering lewat depan rumahnya, jadi kayak hal yang wajib. Kalo enggak nyapa rasanya malah gimana gitu. Ini pasti gara-gara terbiasa.
      (eh, aneh ya, kalo nulis gara-gara. apalagi kalo, ‘ini semua gara-gara gara!’ 😀 ) *ignore it*

      Disukai oleh 1 orang

  2. Ami berkata:

    Tulisannya bagus, jadi ingat pas ngekos, kadang suka ngobrol dengan bapak/ibu yang jual makanan di sekitar kos. 😀 tapi sama teman sekos aku kurang akrab..haha

    Disukai oleh 1 orang

  3. fasyaulia berkata:

    Saya gak pernah ngerasain ngekos nih. Tapi selama ini bertetangga baik-baik aja sih, nyapa bapa ibu tetangga yang dikenal. Bukan maksud gimana-gimana, tapi saya ngerasa lebih enak begitu. Lebih kerasa juga manfaat nya buat saya. Terutama silaturahim jadi terjaga terus kalau ada apa-apa jadi tau dan kenal, ooh ibu itu, ooh bapa itu, oooh yang ini, oooh yang itu, dsb. Hehehe 😀

    Disukai oleh 1 orang

    • rizzaumami berkata:

      Wah enak, dong. bapak ibu biasanya gampang dimintai tolong, begitu sebaliknya suka ngajakin urusin sesuatu. Kalo udah nyaman sama kanan kiri rasanya tenang, engga perlu sungkan kalo ada apa2.

      Suka

    • rizzaumami berkata:

      Meski begitu, selama masih ada rasa ‘pekewuh’ atau sungkan dalam diri individu, kondisi seperti itu lama-lama akan berubah seiring waktu *sok puitis, jangan dipercaya*

      Suka

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.