Kebanyakan dari kita ketika menginjak usia setelah SMA, 18 tahun atau lebih, akan mendapat wewenang dari orang tua untuk tinggal jauh dari rumah, untuk bekerja atau melanjutkan pendidikan. Orang tua percaya, di usia tersebut kita dianggap sudah cukup memiliki bekal untuk menjaga diri dari pengaruh lingkungan. Namun, kepercayaan ini tidak selalu diimbangi dengan kondisi masing-masing kita. Kadang ekspektasi orang tua terlalu tinggi, terlalu memercayai kita. Kadang juga ekspektasi orang tua sangat kurang sehingga seringkali malah mengekang pergerakan kita.
Bagaimanapun, ketika kita sudah tinggal jauh dari orang tua berbekal kepercayaan dari mereka, tentu kita tidak boleh membuat mereka kecewa meski harus mematuhi sekian peraturan yang barangkali mereka tidak akan tahu manakala kita langgar.
“To be trusted is a greater compliment than to be loved.” –James Ramsay MacDonald
Hidup jauh dari orang tua dan tanpa pengawasan membuat kita seolah memiliki wewenang untuk melakukan apa saja. Namun, tentu saja kita tidak akan merusak kepercayaan tersebut bukan?
Saya sesekali membayangkan menjadi orang tua yang sedang membesarkan seorang anak. Dalam imajinasi, saya tinggal di kompleks rumah kos dan kontrakan, bertetangga dengan remaja-remaja yang kuliah di kampus dekat dari sini dan juga bertetangga dengan beberapa warga. Saya yakin, jumlah rumah yang ditempati oleh orang-orang seperti kami lebih sedikit dibanding rumah yang disewakan atau dikontrakkan pada anak-anak kuliah itu. Sehingga setiap musim libur tiba, kawasan ini menjadi sangat sepi.
Keseharian saya selain mengantarkan anak ke Sekolah Dasar adalah bekerja sebagai juru masak di sebuah cafe. Jam kerja dimulai pukul 9 pagi hingga pukul 4 sore. Pada jam pulang Sekolah Dasar, saya diperbolehkan menjemput anak saya sebab ibunya harus berada di tempat laundry pakaian, tempat dia bekerja, ditambah dia tidak bisa mengendarai sepeda motor. Saya tidak pernah membiarkan anak saya pulang sendiri atau diantarkan oleh orang lain. Saya adalah orang yang sulit memercayai siapapun kecuali pada istri saya.
Selain kesibukan tersebut, saya punya rutinitas lain. Saya dibayar untuk membersihkan serta mengawasi sebuah rumah kos untuk cewek di seberang jalan gang depan rumah. Dari teras rumah, saya langsung bisa melihat siapa yang keluar atau masuk ke sana.
Dalam benak saya, yang terngiang kuat tentang anak kuliah seperti mereka adalah pulang-pergi tidak tentu, bersenang-senang dengan tertawa yang kadang berlebihan, sebagian ada yang senang beraktivitas menyendiri, sebagian ada yang sering mengajak banyak teman, ada yang mengijinkan cowok masuk, ada yang keluar lalu bicara entah apa dengan cowok di depan gerbang kos sampai berlarut-larut, ada yang pulang-pergi diantar oleh mobil dengan nomor polisi yang bisa dibaca, dan sebagainya-dan sebagainya. Itu yang sering teramati oleh saya sebagai pengawas. Dan tugas saya hanya sebatas mengawasi. Saya tidak memiliki wewenang untuk mengatur mereka.
Sesekali saya berpikir tentang mereka. Saya pikir, seandainya saya tinggal di suatu tempat, saya harus mengenal orang yang tinggal di kanan-kiri saya. Pikiran ini muncul sebab mereka jarang sekali menyapa saya kecuali satu-dua orang. Dan cuma orang-orang itu saja. Saya penasaran kenapa mereka enggan berinteraksi dengan saya. Padahal saya kira saya adalah tetangga mereka. Apa anak saya kelak ketika sudah seusia mereka akan menjadi seperti mereka? Apa anak saya akan mengabaikan orang seperti saya di suatu tempat yang terpisah dari orang tua? Rasanya saya tidak akan membebaskan pilihan kepada anak saya dalam urusan melanjutkan pendidikan. Saya khawatir anak saya termasuk remaja yang membuat gusar orang tua seperti saya.
Atau, kehidupan para remaja itu memang harus seperti itu dan ekspektasi saya yang keliru?
***
Saya kembali menjadi diri saya yang asli.
2011 saya tinggal di Solo. Kehidupan bertetangga yang kami rasakan memang demikian. Kami hanya kenal dengan Ibu Kos, Ibu Pendeta yang tinggal tepat di depan kosan, pemilik angkringan, penjual makanan, Ibu Laundry, dll yang mendukung kehidupan kami. Lalu 2013 saya pindah ke sebuah kontrakan, masih di Solo. Pola yang sama terulang. Dan saya bertemu beberapa orang tua seperti tokoh saya di atas. Mereka bukan penjual makanan yang sering kami ajak ngobrol, bukan pula ibu yang kerap membersihkan rumah kontrakan yang kadang kami ajak bicara, bukan juga mbak-mbak laundry yang kami sapa setiap kali lewat rumahnya, dll. Mereka bukan siapa-siapa. Mereka hanya orang tua yang tidak berhubungan langsung dengan kehidupan kami di sini. Mereka terwujud dalam sosok seorang tua yang hanya keluar ketika menjemur burung-burung peliharaan, orang tua pengantar galon-yang-bukan-langganan-kami, orang tua yang selalu menuju masjid untuk sholat, dll.
Salah satu dari mereka mempersembahkan pada kami sorot mata yang peduli serta ingin tahu. Dan saya jadikan orang tua itu sebagai ‘teman’. Meski tidak berhubungan langsung dengan kehidupan kami, kami sering menyapanya. Siapa yang tidak tertarik untuk menyapa seorang tua yang terlihat dari ekspresinya sedang menanti kita agar menyapa?
Namun, hal itu tidak berlaku untuk orang tua lain yang bahkan kami amat kesulitan menemukan ekspresi keterbukaannya agar kami bisa leluasa menyampaikan sapaan-tak-penting-ini. Apa mereka diam-diam menanti interaksi atau malah sengaja mencegah terjadinya interaksi?
Atau kehidupan para orang tua itu memang harus seperti itu dan ekspektasi saya yang keliru?
Semoga jawabannya adalah TIDAK.
Tulisan ini diikutkan dalam Jalan Remaja 1208.
Hmm… kata orang saya tipe orang yang agak susah bergaul juga, jadi memang saya jarang sekali menyapa. Ini memang tidak baik, tapi memang demikian adanya, bahkan saya tak kenal dengan orang yang kos di depan kamar saya… :huhu. Ya mungkin tulisan ini semacam mengingatkan saya supaya sedikit lebih supel jadi orang… meski itu susah. Ah, ini juga mungkin karena saya terbiasa sendiri? Jadi bingung :haha.
SukaDisukai oleh 1 orang
It’ oke, Gar. Apalagi kalo kamu udah menyadari hal yang kamu anggap sebagai kekurangan, Dengan begitu sy yakin kamu akan merasa perlu membenahinya. Menjadi orang tidak harus supel kok. Tidak harus berngobrol ria ke sana ke mari. Saya malah seringnya ‘yok, pak’ ‘yok, mas’ ‘mbak?’ dan lain-lain. Apalagi kalo sering lewat depan rumahnya, jadi kayak hal yang wajib. Kalo enggak nyapa rasanya malah gimana gitu. Ini pasti gara-gara terbiasa.
(eh, aneh ya, kalo nulis gara-gara. apalagi kalo, ‘ini semua gara-gara gara!’ 😀 ) *ignore it*
SukaDisukai oleh 1 orang
Hmm… begitu, ya. Siap, akan saya coba laksanakan.
Iya, saya memang tukang bikin gara-gara kok :p.
SukaDisukai oleh 1 orang
haha, pasti sering diledekin sama temen-temenmu.
SukaDisukai oleh 1 orang
Teman, atasan, rekan kerja, semuanya sudah pernah meledek, jadi sekarang saya sudah agak kebal :haha.
SukaDisukai oleh 1 orang
Tulisannya bagus, jadi ingat pas ngekos, kadang suka ngobrol dengan bapak/ibu yang jual makanan di sekitar kos. 😀 tapi sama teman sekos aku kurang akrab..haha
SukaDisukai oleh 1 orang
bener. soalnya, bapak ibu yang sering ketemu itu biasanya suka cerita atau nanya macem-macem, jadinya obrolan kemana-mana, ujung-ujungnya jadi akrab. kalau udah lama gak ketemu, malah situ yang nanya ‘kemana aja, mas?’ *hiks jadi keinget sama mantan Kosan.
SukaSuka
Nah, pertanyaan yang seperti itu yang bikin jadi makin kangen :’)
SukaDisukai oleh 1 orang
jadi kena nostalgia.
btw, jarang update posting ya sekarang mi?
SukaSuka
Ahaha, iya, Umami, lagi kumat malesnya 😀
SukaSuka
perlu diobati kayaknya 😛
SukaSuka
-___- kenalanmu kudu ditambah Le…
SukaSuka
pas ppl insyaallah nambah segaban. haha, salam kenal mas wisnu.
SukaSuka
Saya cenderung pemalu.. Cuma bisa nyapa lewat senyuman atau paling pol cuma ngucapin salam.. haduhh..
SukaSuka
saya juga aslinya mbak. Kalo ga dipancing kayaknya engga bakal hey hey deh.
SukaDisukai oleh 1 orang
Saya gak pernah ngerasain ngekos nih. Tapi selama ini bertetangga baik-baik aja sih, nyapa bapa ibu tetangga yang dikenal. Bukan maksud gimana-gimana, tapi saya ngerasa lebih enak begitu. Lebih kerasa juga manfaat nya buat saya. Terutama silaturahim jadi terjaga terus kalau ada apa-apa jadi tau dan kenal, ooh ibu itu, ooh bapa itu, oooh yang ini, oooh yang itu, dsb. Hehehe 😀
SukaDisukai oleh 1 orang
Wah enak, dong. bapak ibu biasanya gampang dimintai tolong, begitu sebaliknya suka ngajakin urusin sesuatu. Kalo udah nyaman sama kanan kiri rasanya tenang, engga perlu sungkan kalo ada apa2.
SukaSuka
aku juga kenal nya dulu ama ibu kost sama [enjual makanan hehehe
SukaDisukai oleh 1 orang
Itu kaya wajib banget ya bang, ditambah ibu kos kan suka banget ngeksis ke anak2nya.
SukaSuka
Duch ibu kost ku jutek, suka marah2 tapi baik hahahaha
SukaDisukai oleh 1 orang
iya dong bang, kan kamu ganteng makanya 😀
SukaSuka
saya cukup senyum dan menyapa ajah sama tetangga soalnya saya pemalu orangnya gak banyak ngomong pendieum pula 😀
SukaDisukai oleh 1 orang
Bagus dong mbak ipah, selalu banyak jalan menuju roma kan ya 🙂 daripada ga ada yg disenyumin, eaaakkkk.
SukaSuka
Menurutku sih ini memang realita kehidupan modern ya. Lebih individualis dan memang cenderung kurang (atau tidak) kenal dengan “tetangga” 🙂
SukaDisukai oleh 1 orang
Meski begitu, selama masih ada rasa ‘pekewuh’ atau sungkan dalam diri individu, kondisi seperti itu lama-lama akan berubah seiring waktu *sok puitis, jangan dipercaya*
SukaSuka
tulisannya bagus umami…trnyta dimanapun image anak kos kok sama ya…walaupun nggak semua anak kos spt itu..hehee
SukaSuka
Makasih inis. Mohon maaf lahir batin ya. Semoga kita termasuk yg berusaha mjd gaul sama sekitar. 🙂
SukaSuka
Eh, aku besok kalau kerja diminta buat di Jogja aja mas, nemenin ibuk, soalnya kakakku udah jauh merantau, ya, doakan aku mas ya 😀
ini buat lomba? semogaa menang mas 😀
SukaSuka
Iya feb, semoga lancar. Yah aku jg pengennya nemenin org tua, tp malah pengen di jogja juga kerjanya.
Makasih, feb. Iya ini memperebutkan audio recorder 🙂
SukaSuka
Aamiin ya Allah :3 makasih banyak doanya mas 😀 hhihihi
Waaaa, di Jogja aja sini mas 😀 wkwk
Wohoooo. Sukses mas 😀
SukaDisukai oleh 1 orang
Sama-sama feb, saling mendoakan *tos*
SukaSuka
Wohooooy Mas, siaaap *Toss 😀
SukaDisukai oleh 1 orang
Saya agak jarang nyapa, maunya disapa hahah kelakuan yang mesti banget diperbaiki :))
http://www.vonnydu.com
SukaSuka
Biasanya yg pengen disapa sering tebar pesona (-..-“)
SukaSuka
Adddduh ingat 14 tahun yang lalu saat ngokos, tulisan yang bagus dek..
SukaSuka
Thanks mbak Ria * sungkem sesepuh*
SukaDisukai oleh 1 orang
Hahaha iyo le….
SukaDisukai oleh 1 orang