Cerpen: Kentungan

Oleh Umami

Bulan silih berganti. Hutang Gik kian bertambah. Nominalnya amat besar untuk ukuran orang yang tinggal di desa ini. Uang sebanyak itu bisa ia gunakan untuk membeli mobil idaman istrinya yang iklannya sering seliweran di televisi belakangan ini.

Awalnya, ia tak terlalu memedulikan hutang-hutang usaha mebelnya yang telah berjalan lebih dari tujuh tahun itu. Namun, laporan penjualan yang tidak sesuai target tiga-empat bulan berturut-turut; pemborong yang belum melunasi tagihan padahal furnitur sudah diangkut ke negara mereka (kebanyakan Belanda); kematian ayahnya; dan warisan dari ayahnya yang ternyata tidak lebih besar dari penghasilan kotornya selama tiga bulan normal, membuat Gik terpaksa menghitung kembali harta yang masih tersisa untuk dibandingkan dengan hutang pabrik mebelnya. Sekadar informasi, orang-orang yang memiliki usaha seperti Gik tidak menyebut usaha mereka dengan istilah perusahaan, sebab memang, usaha mebel di daerah ini tidak mengadopsi sistem perusahaan. Usaha mebel adalah usaha kerajinan kayu skala sedang yang dikerjakan di sebuah pabrik. Mereka lebih nyaman menyebut pabrik mebel dibanding perusahaan mebel.

Ada tagihan biaya pendidikan yang wajib Gik siapkan setiap enam bulan sekali. Kelima anaknya kuliah. Entah kenapa Gik bisa memiliki lima anak yang usia mereka cuma selisih satu atau dua tahun. Kepala Gik terasa pening. Untungnya, Gik memiliki istri yang telaten. Jika bukan karena istrinya, Gik tak akan pernah punya ide untuk menghitung hartanya yang tersisa. Ia barangkali akan cuek hingga bencana ini datang padanya:

“Bos, gimana? Udah ada uangnya?”

“Pak De, uang saya sudah ada belum? Mau buat modal truk kontainer lagi.”

“Bapak, bayar semester bulan depan, ya?”

“Maaf, Pak. Gimana ini? Sudah tiga bulan, lho. Katanya cuma sebulan.”

Gik membuang jauh pikiran itu. Dia mengumpat dalam hati, memaki bos-bos yang membawa mebel dari pabriknya sesuka mereka dengan meninggalkan tagihan yang sangat keterlaluan. Sebenarnya Gik hanya percaya pada beberapa relasi bisnis yang sudah bekerjasama minimal tiga tahun. Sementara bos-bos itu, yang membawa barang dagangan sesuka mereka, cerobohnya, baru Gik kenal beberapa bulan, dan rata-rata baru melakukan transaksi bersih tanpa hutang hanya sekali. Memang, ia sudah mempelajari rekam jejak perusahaan mereka, memegang kontak mereka, dan alamat lengkap yang bisa didatangi. Perusahaan-perusahaan itu terpercaya. Tapi mereka tetap saja berhutang. Itu artinya, Gik harus melakukan sesuatu semacam ‘sabar menagih hutang-hutang’ yang tak kunjung dibayar itu. Dan ia amat letih melakukan itu berkali-kali. Maka suatu sore ia berdoa, jika bos-bos itu, dengan amat memalukan, tak segera melunasi hutang mereka, Gik berharap agar Tuhan membuat bangkrut perusahaan mereka.

Sesudah mengutuk orang-orang yang tak segera mengembalikan uangnya, Gik mengajak kepalanya untuk memikirkan jalan keluar agar bisa terlepas dari lilitan hutangnya sendiri.

Oh, pikirnya, ia sendiri juga berhutang pada orang lain. Mungkinkah orang lain itu mengutuknya seperti yang ia lakukan pada bos-bos yang berhutang padanya?

“Cobalah Bapak tengok orang-orang yang merenovasi musala, daripada bingung mikir hutang tapi tidak dapat jalan keluar. Semoga Allah kasih petunjuk kalau Bapak mau menawarkan bantuan ke orang-orang yang sedang kerja.”

Gik mengikuti saran istrinya. Ia pergi ke musala yang sedang dibongkar, yang berada tak jauh dari kediamannya. Mungkin―dan semoga―dengan membantu mereka, Tuhan akan membantunya, pikir Gik.

Musala sudah tidak beratap. Semua genting telah diturunkan. Beberapa tukang bangunan dan sebagian penduduk setempat yang ahli di bidang bangunan sepakat untuk meninggikan tembok musala, mengganti bata-bata yang rapuh lalu memasang lagi genting dengan struktur penyangga kayu yang baru. Mereka tidak merenovasi untuk perluasan area, atau penggantian lantai dengan keramik, apalagi merubah arsitekturnya. Musala itu tetap sederhana. Hanya saja akan terlihat lebih tinggi dibanding sebelumnya.

Gik memutari bangunan musala yang kini tampak seakan baru saja terkena angin ribut. Sambil mengamati orang-orang yang bekerja, ia waspada. Siapa tahu tanpa ia sadari ada benda yang terlempar dari atas, lalu mengenai kepalanya.

Gik sampai di sisi musala yang ia rasa aman dari timpaan benda-benda. Para pekerja tadi baru selesai menyantap makan siang di tempat ini. Piring-piring kotor tertumpuk rapi. Beberapa teko minuman terletak berjauhan. Semua urusan tetek-bengek soal makanan adalah pekerjaan wanita-wanita yang ditugaskan sesuai kesepakatan panitia renovasi musala. Gik mengecek isi teko dengan mengangkat teko itu satu per satu. Semuanya nyaris kosong.

“Pak Lik, mau saya ambilin es sirop?” Tiba-tiba Gik punya inisiatif yang bijaksana. Ia bertanya pada seseorang yang sedang bekerja di atas bangunan.

“Iya!” Seseorang yang dia panggil Pak Lik menyahut.

Gik gegas mengangkat dua teko, kembali menuju rumah untuk membujuk istrinya supaya membuatkan minuman bagi para pekerja. Namun, sebelum ia menyusun langkah lebih dekat menuju rumahnya, perhatiannya tersita oleh sebuah kentungan.

Kentungan ini, begitu pula dengan musala yang sedang diperbaiki merupakan peninggalan bapaknya. Bapaknya, yang orang-orang kenal dengan nama mbah Anas merupakan sesepuh desa yang berpengaruh besar dalam memakmurkan kegiatan agama di lingkungan ini pada zaman dulu, ketika kampung ini masih belum memiliki warga sebanyak sekarang. Usia kentungan yang meski tak lebih tua dibanding musala bapaknya yang telah diperbaiki berkali-kali, tetap saja membuat benda penanda waktu salat ini mengemban kesan keramat tidak hanya di mata Gik, tapi di mata setiap orang. Sudah nyaris sebulan, kentungan ini tak dibunyikan. Semua orang mengakui, irama terbaik dan khas yang mengalun dari kentungan hanya bisa dilakukan oleh pemilik yang telah mewakafkannya, yakni mbah Anas. Hanya mbah Anas yang memiliki irama pukulan terbaik sejak lima puluh tahun yang lalu hingga sebelum lelaki tua itu jatuh sakit sampai akhirnya tutup usia. Kentungan ini terbuat dari kayu pohon nangka terbaik. Dibuat pada zaman Belanda, sekitar tahun 1870. Tinggi kentungan satu setengah meter lebih beberapa senti. Diameternya tiga puluh senti, namun tak terlalu berat lantaran terdapat rongga memanjang di dalam kayu nyaris dari ujung ke ujung. Bagian dalamnya masih tampak betapa guratan-guratan yang diakibatkan tatahan benda tajam dilakukan secara manual dan cermat. Gik membayangkan jika dirinya yang harus membuat benda ini seorang diri, entah harus berapa bulan.

Biasanya kentungan ini digantung di sisi sebelah selatan musala, diikat kuat dengan tali tambang yang terbuat dari serat pohon kelapa. Sementara musala sedang diperbaiki, kentungan ini dibiarkan berdiri di dekat pohon, seakan tidak ada orang yang akan tertarik untuk mencuri dan menjualnya. Gik tahu, penggemar barang-barang antik akhir-akhir ini semakin marak dan menggila.

Puas mengamati benda itu, Gik mempertimbangkan sesuatu. Ia berencana bertanya soal kentungan ini pada salah satu relasi kerjanya yang mengoleksi benda kerajinan kayu antik. Jika benda ini laku dijual, ia akan melelangnya pada para kolektor. Ia tersenyum sendiri lalu melanjutkan langkahnya menuju rumah, membawa sebuah teko, melupakan teko satunya yang entah ia tinggalkan di mana.

***

“Wah, ini bisa laku sepuluh sampai lima belas juta, Gik! Hebat sekali kalau terjual. Bisa bangun masjid kamu Gik. Ini untuk dana pembangunan musala bukan?”

Gik tersenyum lagi.

Malam itu ia tergesa-gesa menuju rumah adiknya, Bin, yang tinggal bersebelahan dengannya. Bin adalah satu-satunya saudara Gik yang tinggal di desa ini, yang juga turut merawat serta mengusahakan dana perbaikan musala bersama dengannnya. Bin pula yang menjadi imam salat sejak mbah Anas sakit hingga sekarang, dan mungkin untuk seterusnya. Sejak berkeluarga, Bin, istri, dan ketiga anaknya yang dua di antaranya sudah bersekolah tinggal serumah, menemani mbah Anas. Secara tradisi, ia mewarisi rumah bapaknya sebagai imbalan atas perawatan rumah itu sejak ia menjadi bujang terakhir di keluarganya, sampai kedua orang tuanya tiada. Sedangkan kelima saudara Gik yang lain, untungnya tidak tinggal di kota ini.

“Temanku ada yang menawar kentungan itu, Bin. Ada yang mau bayar dua puluh juta.”

Bin terkejut. Belum sempat ia menanggapi pernyataan itu, ia dicekoki lagi, “Orangnya mau datang besok pagi buat ambil barangnya. Kemarin sudah sempat ke sini dan besok mau ngelunasin. Aku udah pegang DP-nya, Bin!”

Hening beberapa saat. Bin melepas peci hitamnya, lalu menggaruk-garuk kepala.

“Gimana, Bin?” Gik mendesak. “Uang sebanyak itu bisa dibuat merenovasi musala menjadi lebih bagus lagi.”

“Tapi kentungan itu punya musala, Mas. Itu wakaf bapak. Kita gak boleh menjualnya.”

“Benda itu tidak ada manfaat lagi, Bin. Tidak ada yang bisa memukul sebagaimana bapak. Lagipula, tanpa kentungan itu, kita tetap tahu waktu salat, kan? Aku rasakentungan itu tidak benar-benar punya musala. Bapak tidak memberikannya. Itu masih punya bapak, dan kita mestinya boleh menjualnya. Lagipula, uang hasil penjualan nanti masuk ke kas musala.” Gik menghela napas. “Bagaimana menurutmu?”

“Aku juga sempat berpikiran seperti itu. Semua orang tahu, cuma bapak yang bisa menggunakannya. Saat orang lain membunyikannya, malah kedengaran aneh dan mengganggu. Tapi kalau dijual―”

“Itu untuk dana renovasi, Bin,” desak Gik.

Bin mengangguk, membenarkan, namun belum sempat meluruskan pada Gik kalau ia masih tidak menyetujui ide itu. Sementara Gik, bergegas mengantongi anggukan itu sebagai tanda setuju lalu meninggalkan Bin yang hendak berbicara.

***

Sepanjang malam Gik tidak bisa tidur. Ia membayangkan akan menerima uang sebanyak itu besok pagi. Ia berencana meminjam uang itu dulu untuk keperluannya. Ia tekankan terus-menerus pada dirinya: ia meminjam, bukan memakan hasil penjualan secara legal. Tentu saja. Bukankah ia yang menjual benda itu? Semestinya ia berhak dipinjami sebagai upah, bukan? Aku pinjam, dan pasti akan aku kembalikan, pikir Gik. Musala silakan dibangun dengan dana yang sudah ada, tidak perlu renovasi terburu-buru. Gik janji akan mengembalikan uang itu sebagai kas musala suatu saat jika ia sudah punya uang. Dan ia akan menjadi orang pertama yang mengusulkan renovasi besar-besaran jika uang itu sudah ada.

Pukul dua malam, Gik belum bisa tidur. Ia mendengar sesuatu yang aneh. Jika ia tak salah dengar, kentungan itu dibunyikan seseorang. Irama dan ketukannya mirip bapaknya.

Dengan gusar, Gik melangkah di antara kegelapan menuju pohon tempat berdiri kentungan. Ia tak memegang senter. Remang-remang, matanya melihat sosok silhuet sedang berdiri di sebelah kentungan seharga dua puluh juta itu.

(2014)

17 respons untuk ‘Cerpen: Kentungan

Tinggalkan Balasan ke nengwie Batalkan balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.