Merunut Waktu: Sebuah Novel di Masa Bocah

Bang Ade, si empunya blog limaunipes membuat saya tertantang untuk berbagi kisah manis ini. Ini tentang kapan kali pertama kamu menyelesaikan baca dengan tuntas sebuah novel.

Tentu kamu tahu majalah Bobo, bukan? Saya penggemar berat majalah ini sejak di Sekolah Dasar. Dari majalah ini saya memperoleh kegemaran membaca buku apapun hingga beberapa tahun ke depan.

Bobo - image was taken from kaskus.co.id

Majalah Bobo – image was taken from kaskus.co.id

Sewaktu kecil, bagi saya, membaca bukanlah untuk menghibur diri. Membaca saya lakukan untuk menjawab rasa penasaran. Saya-kecil selalu penasaran dengan apa yang akan terjadi di Dunia Kelinci. Apa yang akan dikerjakan Paman Kikuk. Apa yang akan dilakukan Nirmala, Oki, dan kawan-kawannya. Dan apa yang akan terjadi dengan Bona dan Rongrong. Penasaran itu kemudian berkembang menjadi, ‘Di majalah setipis ini aja banyak sekali cerita yang bikin penasaran, bagaimana dengan perpustakaan di sekolah itu?’

Seingat saya, pertama kali tertarik masuk ke perpustakaan SD yang koleksi buku-bukunya amat tua dan berdebu itu adalah ketika kelas 3. Berkali-kali saya pinjam buku yang beragam genre-nya. Mungkin lantaran belum kenal genre buku, saya pinjam segala macam buku yang menurut saya menarik setelah saya baca sekilas. Tapi judul-judulnya tidak ada yang tertinggal di benak saya.

Namun pada akhirnya, saya nobatkan sebuah novel dari perpustakaan itu sebagai ‘buku pertama’ yang selesai saya baca di kelas 4. Novel ini remaja, tapi bukan teenlit (sepertinya zaman itu belum lahir genre teenlit). Judulnya ‘Dukaku Bahagiaku’. Hanya itu informasi buku yang saya ingat di samping kisahnya yang membekas lekat di hati ini (*duh).

Novel itu berkisah tentang perjuangan serius seorang gadis. Tidak ada cerita cinta monyet dan sejenisnya. Ini murni cerita kehilangan, perjuangan, dan keajaiban.

Sinopsis singkatnya, kapal yang ditumpangi gadis itu dan keluarganya terbalik dan pecah. Settingnya di Gorontalo. Semua orang di kapal mati kecuali dia. Ia bertahan dengan sebuah potongan kayu kapal. Terombang-ambing berhari-hari dan di detik-detik terakhir ketika dia putus asa, sebuah kapal melintas. Kemudian kehidupan berlanjut. Ia tinggal di panti asuhan hingga suatu ketika ada keluarga yang datang untuk mengadopsinya, seorang bos pabrik kelapa sawit. Ia dijanjikan akan disekolahkan. Namun, kedua orang tua itu bohong. Ia justru dipekerjakan di pabrik kelapa sawit tanpa digaji. Seusai penderitaan yang seakan tak berkesudahan itu, ia berhasil kabur, namun ditangkap petugas dinas sosial bersama gelandangan di jalanan kota. Waktu itu ia tahu kalau ia sudah tidak punya siapapun lagi. Yang ia ingat dari orang tuanya hanya Kotamobagu. Tinggallah ia di tempat penampungan. Suatu hari ada pasangan suami istri yang datang menghampirinya untuk menawarinya tinggal bersama. Mereka tidak punya anak. Namun karena trauma, gadis itu menolak. Suami istri itu berjanji akan membantunya menemukan keluarganya yang masih tersisa dan berjanji tak akan menyakitinya dengan jaminan petugas dinas sosial yang akan memastikan secara berkala. Singkat cerita, setelah tinggal beberapa waktu, seorang nenek menghubungi rumah mereka atas iklan yang dipasang di koran. Nenek itu mengaku sebagai nenek sang gadis. Ia bilang tinggal seorang diri di Kotamobagu. Sang gadis yakin nenek itu tidak berbohong. Dan tentu saja keajaiban itu terwujud. Sang gadis bertemu dengan neneknya yang tidak pernah ia kenal sebelumnya lalu tinggal bersama. Meski begitu, ia tidak memutuskan hubungan dengan orang tua baik yang terakhir kali merawatnya. Lalu cerita berakhir dengan kabar terbakarnya pabrik produksi minyak kelapa sawit tempat ia dulu bekerja.

Seandainya buku itu muncul sekarang, mungkin tidak begitu digemari pembaca lantaran jalan ceritanya yang terlalu drama. Namun, kala itu, novel itu amat bagus buat saya. Saya pertama kali mengenal nilai moral dari novel itu. Saya ingat, novel itu direkomendasikan oleh salah satu teman cewek (*ehm) yang satu kelas dengan saya. Saya membacanya berulang kali secara bergiliran dengan dia. (*oh ciye)

Sepertinya teman cewek saya tahu dengan amat baik kalau saya suka membaca. (*oh ciye lagi)

***

Kembali ke masa sekarang. Sang monyet lucu itu sudah berubah menjadi lebih menawan sekarang. 😀

Kita bicara buku yang lain. Saya membaca buku ini kira-kira setahun yang lalu. Judulnya ‘Life Traveler’, ditulis oleh Windy Ariestanty (editornya gagasmedia). Saya pinjam buku ini dari kakak perempuan saya (saya enggak punya kakak laki).

Life Traveler - Sorry belum saya foto. Gambar dari goodreads.

Life Traveler – Sorry belum saya foto. Gambar dari goodreads.

Buku ini bukan novel, namun saya membacanya serasa seperti novel. Buku ini juga bukan buku panduan perjalanan, namun mencantumkan hal-hal dan tips yang mesti kamu lakukan jika melakukan perjalanan. Buku ini adalah catatan perjalanan. Settingnya beragam, di Vietnam, Jerman, dll. Buku ini ditulis Windy dengan sangat apik. Ia menceritakan potongan cerita dengan lembut, detail, dan penuh rasa serta logika-logika sederhana yang seringkali memaksa kita untuk membenarkannya dan sesekali membuat kita berpikir, ‘Oh. Benar juga’.

Di goodreads dapat rating 3.81 dari skala 5. Saya sendiri memberikan rating 5.

Lewat blurb di kaver belakang saja sudah membuat saya jatuh cinta.

‘Where are you going to go?’ tanyanya sambil meletakkan secangkir teh hangat di meja saya.

‘Going home.’ Saya menjawab singkat sambil mengamati landasan pacu yang tampak jelas dari balik dinding-dinding kaca restoran ini.

‘Going home?’ Ia berkerut. ‘You do not look like someone who will be going home.’

Seperti itulah rasanya. Dialog-dialog yang ditulis Windy di buku ini selalu menarik dan memiliki arti dalam. Lalu lagi,

Kadang, kita menemukan rumah justru di tempat yang jauh dari rumah itu sendiri. Menemukan teman, sahabat, saudara. Mungkin juga cinta. Mereka-mereka yang memberikan ‘rumah’ itu untuk kita, apa pun bentuknya.

Tapi yang paling menyenangkan dalam sebuah perjalanan adalah menemukan diri kita sendiri: sebuah rumah yang sesungguhnya. Yang membuat kita tak akan merasa asing meski berada di tempat asing sekalipun…

… because travelers never think that they are foreigners.

Saya rekomendasikan buku ini buat Bang Ade. Saya percaya, Life Traveler ini akan meramaikan hati siapun sebelum pergi ke suatu tempat. Atau malah sebagai teman di perjalanan. Selamat membaca!

Nah, apa buku pertama yang tuntas kamu baca? Share juga di giveaway-nya Bang Ade.

20 respons untuk ‘Merunut Waktu: Sebuah Novel di Masa Bocah

  1. Gara berkata:

    Idem dengan Mas Jampang, saya baca Bobo beli bekasan yang sudah dibundel, majalah-majalah Bobo tahun 1986 :haha

    Ah, buku Life Traveler itu cocok juga buat saya :hihi. Bagus quote-quotenya. Terima kasih untuk rekomendasinya. Jalan itu memang bukan sekadar menemukan tempat baru di luar, tapi lebih ke menemukan sesuatu yang baru di dalam diri 🙂

    Disukai oleh 1 orang

  2. Sugih berkata:

    Bobo majalah wajib bagi saya saat kecil. Berkat Bobo saya jadi lancar membaca. Berkat soal-soal latihan ulangan yang terdapat di Bobo pula saya selalu masuk peringkat 3 besar di kelas. Bahkan berkat rubrik2 iptek yang ada di sana saya selalu menjadi murid yang terupdate di sekolah sampai bikin teman2 satu sekolah saya melongo mendengar celoteh saya berbagi informasi kepada mereka. Ah, masa kanak-kanak yang indah.

    Disukai oleh 1 orang

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.